Konsep Wisata Halal BOP Mabar, Kontra Produktif, dan Ganggu Kohesi Sosial Masyarakat


 Konsep Wisata Halal BOP Mabar, Kontra Produktif, dan Ganggu Kohesi Sosial Masyarakat Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. (BreakingNews)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Konsep Wisata Halal bakal menjadi kontra produktif dan akan mengganggu kohesi sosial masyarakat Manggarai Barat yang sudah tertata rapi selama bertahun-tahun lamanya.

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, SH kepada media ini menjelaskan bahwa konsep tersebut bukan saja karena ia melanggar UU No. 10 Tahun 2009, Tentang Kepariwisataan yang mensyaratkan penentuan wilayah pariwisata yang strategis, harus memperhatikan aspek sosial, budaya, lingkungan dan agama masyarakat setempat akan tetapi juga bertentangan dengan amanat Konstitusi pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Apalagi kata Petrus, konsep Wisata Halal ini hendak mengintegrasikan nilai-nilai syariah ke dalam kegiatan pariwisata, seperti fasilitas-fasilitas, ornamen-ornamen dan model pelayanannya-pun harus yang sesuai dengan ketentuan syariah, sehingga berpotensi mematikan ekspresi budaya tradisional lokal.

Menurut Petrus, konsep Wisata Halal yang dicoba diterapkan oleh Badan Otoritas Pariwisata (BOP) di Manggarai Barat, sebetulnya adalah penghalusan dari konsep tentang Hotel Syariah yang pernah ada melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No. 2 Tahun 2014, Tentang Hotel Syariah yang kemudian dicabut kembali dengan Peraturan Menteri Pariwisata No. 11 Tahun 2016, karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan.

"Oleh karena itu konsep Wisata Halal ini sebetulnya tidak memiliki landasan,"tandasnya.

Jika konsep ini ditolerir, maka sambung Petrus bukan hanya budaya lokal yang menjadi anak tiri, akan tetapi sumber daya manusianya-pun mulai dari tenaga Resepsionis hingga jabatan Manager pun harus yang paham dan menganut hukum syariah demi menjamin pemenuhan mutu pelayanan wisata halal tadi, sehingga tidak tertutup kemungkinan muncul tuntutan diperlukan "Perda Syariah" sebagai pijakannya. Nuansanya harus Islami, lagu-lagu, pernak pernik semuanya harus bernuansa syariah.

"Ini tentu tidak sesuai dengan konsep pembangunan kepariwisataan NTT yang berbasiskan kearifan lokal, mengedepankan ekspresi budaya tradisional lokal dan tentu saja semangatnya adalah semangat mewujudkan masyarakat NTT yang berdaulat dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan untuk mewujudkan tujuan nasional bangsa,"tegas Petrus.

Dengan demikian konsep tersebut kata Petrus harus dihentikan. Sikap tegas Pemerintah Provinsi NTT wajib didukung oleh masyarakat, apalagi saat ini Pemerintah Provinsi sedang giat-giatnya mengangkat budaya lokal untuk tampil dalam setiap kegiatan Kepariwisataan di seluruh NTT termasuk Kabupaten Mangarai Barat dan Kabupaten lainnya, sebagai wujud tanggung jawab negara menjalankan amanat pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Pada sisi yang lain kata Petrus, tanpa disadari konsep Wisata Halal ini justru menimbulkan tafsir seakan-akan menempatkan kearifan lokal berada pada posisi yang diharamkan dan ini jelas menyinggung harga diri dan martabat masyarakat Manggarai Barat.

"Kultur dan karakter masyarakat Manggarai Barat yang sangat toleran terhadap perbedaan dan yang selalu hidup berdampingan secara damai tanpa ada persoalan halal dan haram selama ini mestinya tidak boleh diganggu gugat atas alasan apapun dan oleh siapapun. Oleh karena selama ini kehidupan masyarakat Manggarai Barat berjalan secara alamiah dan penuh toleransi tanpa ada insiden apapun,"katanya.

Copot Jabatan Kepala BOPPetrus dalam kesempatan ini juga meminta agar Kepala Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Kabupaten Manggarai Barat, Shana Fatina harus dicopot dari jabatannya dan sebelumnya harus mencabut konsep Wisata Halal dimaksud disertai permintaan maaf kepada masyarakat Manggarai Barat dan Pemerintah Provinsi NTT.

Hal ini dikarenakan konsep Wisata Halal ini tidak ada pijakan hukumnya, bahkan berbasis pada hukum syariah yang sulit diterapkan di Manggarai Barat dan Provinsi NTT dan umumnya yang kultur dan agamanya berbeda. Apalagi pada saat yang bersamaan Pemprov NTT sedang membangun Kepariwisataan NTT berbasis pada ekowisata yang mengedepankan aspek kearifan lokal, konservasi alam, pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal, seperti bangunan hotel bergaya rumah adat, reseptions dan duta wisata harus berpakaian sarung tenun khas NTT, sapaan pembuka disesuaikan dengan tradisi setempat, tamu disuguhi sirih pinang dan tembako dll. yang tentu saja gaya khas NTT.

 

 

 

 

 

 

 


Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Nasional Terbaru