Loading
Chief Economist Citibank Indonesia Helmi Arman usai menghadiri konferensi pers Pemaparan Ekonomi dan Kinerja Keuangan Citi Indonesia Kuartal III/2025, Jakarta, Selasa (18/11/2025) (ANTARA/Bayu Saputra)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Citi Indonesia memandang prospek ekonomi Indonesia pada 2026 cukup cerah. Lembaga tersebut memperkirakan pertumbuhan bisa mencapai 5,3 persen, lebih tinggi dibanding proyeksi 2025 yang diprediksi berada di kisaran 5,1 persen.
Chief Economist Citibank Indonesia, Helmi Arman, menjelaskan bahwa optimisme ini muncul karena mulai terlihatnya efek kebijakan kontra-siklus yang dilakukan pemerintah dan otoritas moneter. Sejumlah kebijakan ini dinilai memberi ruang bagi perekonomian untuk kembali menguat di tahun depan.
Moneter Longgar, Kredit Diproyeksi Membaik
Menurut Helmi, penurunan suku bunga The Fed menjadi salah satu pemicu positif bagi pasar keuangan global. Bank Indonesia (BI) pun mengikuti langkah tersebut, diikuti dengan meningkatnya likuiditas domestik karena perpindahan dana pemerintah dari BI ke sistem perbankan.
Pelonggaran moneter ini diperkirakan dapat membantu menstabilkan penyaluran kredit yang saat ini masih melambat. Per September 2025, pertumbuhan kredit perbankan masih berada di level 7,7 persen. Namun, Helmi meyakini kredit akan kembali stabil pada akhir tahun dan mulai meningkat pada paruh kedua 2026, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga.
Dorongan Fiskal Diharapkan Kian Efektif
Selain dukungan moneter, kebijakan fiskal juga berpotensi menjadi motor pemulih ekonomi. Kementerian Keuangan disebut semakin tegas melakukan realokasi anggaran yang belum terserap, sehingga efektivitas belanja negara diperkirakan akan lebih optimal.
Helmi menilai realisasi belanja yang lebih baik tidak hanya memperkuat likuiditas perbankan, tetapi juga menjaga daya beli masyarakat melalui program-program sosial yang menyasar kelompok berpendapatan menengah ke bawah.
Salah satu stimulus yang bakal memperkuat konsumsi adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menjangkau 35 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Program ini diproyeksikan menjadi pendorong tambahan bagi konsumsi rumah tangga di akhir tahun.
Posisi Rupiah dan Dinamika Pasar Global
Terkait nilai tukar, Helmi menilai rupiah saat ini berada pada posisi undervalued jika dibandingkan dengan mata uang negara mitra dagang. Namun, tekanan tetap muncul karena selisih imbal hasil obligasi Indonesia dan US Treasury makin menyempit dikutip Antara.
Kondisi ini mendorong sejumlah arus modal global bergeser dari Asia menuju Amerika Latin, yang masih menawarkan suku bunga tinggi dan peluang pelonggaran lebih besar pada 2026.
Meski demikian, Helmi optimistis kombinasi kebijakan moneter dan fiskal dapat menjadi fondasi kokoh bagi ekonomi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan 5,3 persen tahun depan.