Loading
Peri Farouk. (Foto: Dok. Pribadi)
Oleh: Peri Farouk
TITIK TITIK pada judul sengaja dibiarkan menggantung. Sebab hingga kini, negara pun tampak belum sepenuhnya yakin: apakah ia ingin menjadi pelaku bisnis, pengatur bisnis, atau hanya penonton yang berusaha tetap terlihat peduli.
Dalam urusan ketenagakerjaan, negara sangat rajin mengumumkan UMP setiap tahun. Angka kenaikan menjadi momen penuh tensi: dirayakan, diperdebatkan, bahkan dipolitisasi. Negara tampil tegas sebagai penentu harga tenaga kerja, seolah kesejahteraan buruh bisa diringkas dalam satu variabel angka.
Namun pada saat yang sama, pendidikan dan pengembangan keterampilan—fondasi utama daya tawar tenaga kerja—bergerak jauh lebih lambat. Sekolah kejuruan tertinggal dari kebutuhan industri. Program upskilling dan reskilling lebih sering terdengar sebagai jargon ketimbang solusi nyata. Dunia usaha kekurangan tenaga terampil, sementara negara sibuk mengatur nominal upah.
Ini pilihan yang janggal: harga diatur, kualitas dibiarkan stagnan.
Kontradiksi lain terlihat pada kebijakan cuti bersama. Kalender nasional diatur rapi, hari libur diseragamkan, seolah produktivitas dapat dikendalikan lewat tanggal merah. Buruh dipeluk secara simbolik—“kami beri kalian libur”—namun jarang dibicarakan mereka yang justru harus tetap bekerja: tenaga kesehatan, transportasi, logistik, pariwisata, dan layanan publik lainnya. Insentif bagi mereka? Sering kali tertunda, atau bahkan tak pernah dibahas.
Negara kerap memilih kebijakan yang paling mudah dilihat publik, bukan yang paling berdampak dalam jangka panjang.
Baca juga:
Majukan Sikka, Bupati Robi Tegaskan Pemerintah Siap Bersinergi dengan Politeknik Cristo ReDalam iklim usaha, kontradiksi ini semakin kentara. Di panggung pidato, investasi dirayu dengan janji kemudahan. Di lapangan, pelaku usaha berhadapan dengan perizinan berlapis, regulasi tumpang tindih, dan aparat yang lebih piawai menguji kesabaran daripada memfasilitasi usaha. Negara hadir bukan sebagai enabler, melainkan hambatan yang harus dinegosiasikan.
Tak mengherankan jika sektor informal tumbuh subur. Bukan karena pelaku usaha enggan patuh, melainkan karena sistem formal terlalu mahal, terlalu rumit, dan terlalu melelahkan untuk diikuti.
Masalah paling mendasar adalah gaya kebijakan yang gemar cari muka. Keputusan diambil agar terlihat berpihak, bukan untuk bekerja dalam kerangka jangka panjang. UMP dinaikkan—buruh senang sesaat. Cuti bersama ditambah—publik bertepuk tangan. Namun desain besar kesejahteraan—pendidikan, kesehatan, mobilitas kerja, dan produktivitas—tetap rapuh.
Negara seperti ingin memanen tanpa menanam. Sibuk menata etalase, lupa membangun dapur. Dalam urusan ekonomi warganya, negara sering tampil sebagai manajer serba tahu, padahal yang dibutuhkan justru pelatih yang konsisten dan sabar.
Pertanyaan dasarnya sederhana, namun jarang diajukan secara jujur: apa peran terbaik negara dalam ekonomi warganya?
Mengatur harga tanpa menaikkan kapasitas adalah jalan pintas. Mengurus simbol tanpa membenahi sistem hanya menghasilkan hiburan kebijakan.
Jika negara sungguh-sungguh ingin memperjuangkan kesejahteraan, ia harus berani mengambil peran yang kurang populer: membenahi pendidikan, mempercepat pelatihan keterampilan, mempermudah usaha, serta memberi insentif yang adil bagi mereka yang bekerja—bahkan saat hari libur.
Tanpa itu semua, negara akan terus berada di antara titik-titik: tidak sepenuhnya menjadi negara bisnis, tidak pula utuh sebagai negara kesejahteraan. Ia hadir di permukaan, tetapi absen di inti persoalan.
Peri Farouk adalah Pengamat Isu Kebijakan Ekonomi serta Hubungan Negara dan Dunia Usaha.