Rabu, 31 Desember 2025

Tak Sekadar Energi, Migas Berpotensi Perkuat Ekonomi Pesisir Lokal


 Tak Sekadar Energi, Migas Berpotensi Perkuat Ekonomi Pesisir Lokal Ilustrasi - Foto udara perkampungan pelangi di Kecamatan Nambo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (20/9/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah/rwa.

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Industri minyak dan gas bumi (migas) dinilai menyimpan peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi baru di wilayah pesisir Indonesia. Namun, potensi tersebut hanya akan benar-benar terasa jika pengelolaannya dilakukan secara adil, transparan, dan memberi ruang nyata bagi masyarakat lokal.

Pakar ekonomi lingkungan dari IPB University, Aceng Hidayat, menilai manfaat ekonomi industri migas selama ini belum sepenuhnya optimal dirasakan masyarakat sekitar area operasi. Salah satu penyebab utamanya adalah masih terbatasnya penyerapan tenaga kerja lokal, khususnya pada level teknis menengah.

“Dampak ekonomi migas akan terasa kuat jika ada keberpihakan nyata pada tenaga kerja lokal, terutama lulusan SMK dan kelompok kelas menengah,” ujar Aceng di Jakarta, Selasa (30/12/2025).

Menurutnya, industri migas cenderung menyerap tenaga kerja dengan keahlian tinggi, sementara peluang bagi tenaga teknis lokal masih minim. Padahal, kelompok ini memiliki potensi besar jika dibekali pelatihan yang tepat dan berkelanjutan.

Aceng mendorong perusahaan migas untuk tidak sekadar beroperasi, tetapi ikut membangun ekosistem peningkatan kapasitas sumber daya manusia di daerah. Salah satu gagasan yang ia tawarkan adalah pembentukan lembaga pelatihan bersama oleh para investor migas guna menyiapkan tenaga teknis lokal dengan standar kompetensi dan sertifikasi yang jelas.

“Kalau investor bisa bersinergi menyiapkan tenaga lokal dalatu singkat, lalu langsung diserap industri, dampak ekonominya akan cepat dan nyata dirasakan masyarakat,” katanya.

Tak hanya soal tenaga kerja, Aceng juga menyoroti pentingnya transparansi dalam skema kontrak antara negara dan investor migas. Ia menilai diskusi publik selama ini terlalu fokus pada aspek pajak, sementara kejelasan skema bagi hasil atau profit sharing justru luput dari perhatian.

“Yang perlu dibuka ke publik adalah seberapa besar manfaat riil yang diterima negara dari setiap kegiatan ekstraksi sumber daya alam, bukan hanya dari pajak, tapi juga pembagian hasilnya,” ujarnya.

Dana hasil pengelolaan migas tersebut, lanjut Aceng, idealnya dikembalikan untuk mendukung pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah operasi, termasuk menjaga kualitas lingkungan hidup seperti akses air bersih, udara sehat, dan ruang hidup yang layak.

Ia juga mengingatkan agar masyarakat pesisir tidak sepenuhnya bergantung pada sektor migas. Diversifikasi ekonomi dinilai penting melalui penguatan sektor perikanan, budidaya rumput laut, hingga pengembangan wisata bahari berbasis komunitas.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menegaskan bahwa kontribusi sektor migas terhadap perekonomian nasional sejatinya sudah terbukti. Tantangan utama ke depan adalah bagaimana meminimalkan dampak lingkungan dari aktivitas energi tersebut.

Menurut Komaidi, dibandingkan sektor pertambangan mineral dan batu bara, kegiatan migas relatif memiliki dampak fisik yang lebih terbatas karena material yang diambil berbentuk cair dan dialirkan melalui pipa.

“Pada migas, yang diambil adalah cairan. Berbeda dengan mineral dan batu bara yang membutuhkan pembukaan lahan luas dan pengambilan material padat dalam jumlah besar,” jelasnya.

Meski demikian, Komaidi menekankan bahwa setiap aktivitas ekstraksi sumber daya alam pasti membawa dampak lingkungan. Karena itu, pengelolaan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan menjadi kunci agar industri migas tetap memberi manfaat ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan.

“Tidak mungkin tanpa dampak sama sekali, tetapi dampak itu bisa ditekan, dan praktik baiknya sudah ada,” pungkasnya dikutip Antara.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru