Loading
Di Sikka, Flores, NTT belis atau mas kawin berupa gading gajah. (Istimewa)
MELAMAR atau meminang, sudah merupakan tradisi temurun dilaksanakan oleh pihak pria dan keluarganya ketika hendak meminang gadis pujaannya. Dalam tradisi Jawa, pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh.
Pada zaman dulu yang lazim disebut Jodang (tempat makanan dan lain sebagainya) yang dipikul oleh empat orang pria. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain Jadah, wajik, rengginan, dan sebagainya. Sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket).
Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara peningsetan (pengikat) yang merupakan suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pria kepada pihak calon pengantin putri.
Menurut tradisi Jawa, peningset terdiri kain batik, bahan kebaya, semekan, perhiasan emas, uang yang lazim disebut tukon (imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi jadah, wajik, rengginan, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang kelapa yang dipikul tersendiri, satu jodoh ayam hidup.
Tradisi Minang yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, sang gadis dan pihak keluarga sang gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak-mamaknya datang bersama-sama ke rumah keluarga calon muda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut dari keluarganya.
Barang-barang yang dibawa waktu meminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah di susun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah di sebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih pinang lengkap harus ada. Tidaklah di sebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.

Pada daun sirih yang dikunyah menimbulkan dua rasa di lidah, yaitu pahit dan manis, terkandung simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan.
Berbeda dengan adat Nias, laki-laki yang ingin menikah, laki-laki harus memberikan harga (bowo) puluhan juta juga babi yang banyak kepada perempuan yang ingin dinikahi.
Tradisi yang tak kalah menariknya adalah tradisi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam tradisi, di tengah rangkaian atau tahapan perkawinan adat di Nusa Tenggara Timur, dikenal pembayaran belis atau mas kawin. Tahapan ini dilaksanakan sesudah tahapan peminangan dengan membawa sirih pinang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Selanjutnya pembayaran belis, baru kemudian dilaksanakan upacara perkawinan.
Adapun ragam belis dapat berupa emas, perak, uang, maupun hewan. Belis berupa hewan umumnya kerbau, sapi, atau kuda. Di daerah tertentu belis berupa barang khusus berupa gading gajah.
Di Sikka-Flores, seorang gadis dibelis dalam enam bagian: Kila, belis cincin kawin; djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).
Masa pertunangan, semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu disebut dengan ungkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual anak/saudari). |Berbagai sumber|