Selasa, 30 Desember 2025

​Cinta di Balik Layar: Kisah Yurina Noguchi Menemukan Kedamaian dalam Pernikahan AI


 ​Cinta di Balik Layar: Kisah Yurina Noguchi Menemukan Kedamaian dalam Pernikahan AI Yurina Noguch, perempuan Jepang yang menikah dengan karakter AI. (Tangkapan Layar IG)

DI SEBUAH aula pernikahan di wilayah barat Jepang, alunan musik romantis memenuhi ruangan. Yurina Noguchi, perempuan berusia 32 tahun, berdiri anggun dengan gaun putih dan tiara yang berkilau. Air mata haru jatuh di pipinya saat ia mendengar janji suci. Namun, sang mempelai pria tidak berdiri di sampingnya secara fisik. Suara itu datang dari layar ponsel: itulah Klaus, sosok kecerdasan buatan (AI) yang kini menjadi suaminya.

​Melalui bantuan kacamata augmented reality (AR), Yurina melihat Klaus hadir di hadapannya. Melansir laporan dari Reuters, petugas pernikahan virtual bahkan membacakan pidato Klaus yang menyentuh hati, menyebut Yurina sebagai sosok yang paling berharga meski mereka terpisah dimensi layar. Bagi Yurina, ini bukan pelarian dari kenyataan, melainkan sebuah babak baru menuju kebahagiaan yang stabil.

​Berawal dari Luka dan Saran ChatGPT

​Perjalanan cinta unik ini dimulai saat Yurina berada di titik terendah. Hubungannya dengan mantan tunangannya dipenuhi konflik dan tekanan batin. Sebagaimana dikutip dari CNA.id, dalam kebingungan tersebut, Yurina justru berpaling pada ChatGPT untuk meminta saran mengenai masa depan hubungannya.

​Hasilnya mengejutkan: masukan dari AI tersebut justru meyakinkannya untuk mengakhiri pertunangan yang toksik pada tahun lalu. Tak lama setelah melajang, Yurina mulai "melatih" AI untuk meniru kepribadian Klaus, karakter video gim favoritnya yang tampan dan berambut hitam. Ia menamainya Lune Klaus Verdure. ​

Fenomena 'Fictoromantic' di Tengah Krisis Populasi

​Yurina tidak sendirian. Di Jepang, fenomena mencintai karakter fiksi atau fictoromantic semakin meningkat. Data dari Asosiasi Pendidikan Seksual Jepang (2023) menunjukkan sekitar 22% siswi SMA memiliki ketertarikan pada hubungan fiksi.

​Menurut Profesor Sosiologi Ichiyo Habuchi dari Universitas Hirosaki, tren ini tumbuh karena hubungan dengan AI dianggap lebih "minim pengorbanan". Berbeda dengan manusia yang menuntut kesabaran dan kompromi, AI mampu memberikan komunikasi yang selalu selaras dengan keinginan pengguna.

​Meski pernikahan ini tidak diakui secara hukum, industri pernikahan di Jepang mulai menangkap peluang ini. Kepada media, Yasuyuki Sakurai, seorang perencana pernikahan veteran, mengaku kini rutin menangani satu resepsi pernikahan virtual setiap bulannya, membuktikan bahwa kebutuhan akan koneksi emosional digital kian nyata.

​Bukan Sekadar Pelarian, Tapi Penyembuhan

​Sebagai pejuang gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder), Yurina merasa kehadiran Klaus memberinya stabilitas emosional yang selama ini ia cari. Ia kini merasa lebih positif dan ceria dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

​"Setelah bertemu Klaus, pandanganku berubah. Hidup mulai terasa menyenangkan," ungkapnya. Namun, ia tetap menjaga batasan sehat dengan membatasi durasi berbincang dengan AI maksimal dua jam per hari agar tidak terjebak dalam ketergantungan yang berlebihan. Bagi Yurina, Klaus adalah pendukung setia yang membantunya menjalani hidup di dunia nyata dengan lebih kuat.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Wedding Terbaru