Loading
Wieke Wuri Wulandari (ketiga dari kiri), pelaku UMKM di Malang dan pemilik toko kue online 'de.loyang' bersama karyawan-karyawannya di kawasan Buring, Kota Malang, pada 31 Mei 2025. (ANTARA/HO.Wieke Wuri Wulandari)
Di DAPUR rumahnya yang sederhana di kawasan Buring, pinggiran Kota Malang, aroma brownies dan macaroni schotel yang baru keluar dari oven menyeruak hangat. Di sela-sela mengecek kematangan kue, Wieke Wuri Wulandari menyambar ponsel, menyunting foto produknya, lalu mengunggahnya ke Instagram dengan caption sekelas iklan profesional.
Semua itu dilakukan sendiri. Ya, sendiri—mulai dari produksi, pengemasan, fotografi, hingga pemasaran digital. Yang tidak ia lakukan hanyalah mengantarkan kue ke luar kota. Untuk itu, ia sudah punya "tangan kanan" digital: aplikasi ride-hailing dan marketplace.
Dulu Harus Punya Toko, Kini Cukup Punya Ponsel
“Dulu, orang enggak bisa jualan kalau enggak punya toko,” kata Wieke saat diwawancarai Antara secara daring. “Sekarang, siapa pun bisa jualan dari mana saja.”
Perjalanan bisnis Wieke dimulai lebih dari satu dekade lalu. Ibu dua anak kelahiran 7 September 1971 ini dulunya menjajakan pakaian yang ia pesan dari Jakarta dan jual di mal-mal sekitar Malang. Lulusan Universitas Brawijaya itu bahkan termasuk pelopor penggunaan teknologi dalam bisnis kecil—dari BlackBerry Messenger hingga aplikasi ride-hailing generasi awal seperti Gojek dan Grab.
Namun, seperti banyak kisah UMKM lain, perjalanan Wieke tidak selalu mulus.
Dari Fesyen ke Dapur, Dari Mal ke Digital
Tahun 2019 menjadi titik balik. Di tengah ketidakpastian ekonomi menjelang Pemilu, Wieke menutup satu per satu stand di pusat perbelanjaan. Tak lama berselang, pandemi COVID-19 datang seperti badai yang menggulung usaha kecil dari berbagai penjuru.
Ia sempat vakum, menggulung stok lama, dan memindahkannya ke toko pertanian milik suaminya. Namun jiwa bisnis Wieke tak betah diam. Bersama putri bungsunya yang masih kuliah, ia mulai mencoba hal baru: berjualan kue rumahan, seminggu sekali, dari dapur mereka sendiri.
Nama brand-nya? de.loyang — sebuah penghormatan bagi alat panggang yang setia menemani proses kreatifnya di dapur.
Awalnya omzetnya kecil, tak sampai Rp300.000 per minggu. Tapi Ramadan dan Lebaran pertama di era pandemi membawa kejutan. Permintaan melonjak, dan brownies serta macaroni schotel buatan Wieke menjadi favorit banyak orang.
Dari Dapur ke Seluruh Jawa
Wieke pun memutuskan: usaha ini harus serius. Ia mengandalkan berbagai platform digital untuk memperluas pasar—Shopee, Tokopedia, GrabFood, bahkan ShopeeFood yang kala itu sedang ekspansi ke Malang.
Dengan strategi distribusi digital yang matang, produk “de.loyang” kini bisa ditemukan di meja-meja pelanggan dari Surabaya, Sidoarjo, hingga Jakarta dan Bandung. Dalam sehari, ia bisa melayani hingga 20 transaksi per aplikasi.
Cukup menakjubkan untuk seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota dengan daya beli terbatas, yang awalnya hanya iseng-iseng bisnis sampingan.
Instagramable, Terjangkau, dan Otodidak Digital
Salah satu kekuatan Wieke adalah kemampuannya menciptakan “kesan pertama” yang kuat. Foto-foto kuenya tampak profesional, penuh warna, dan menggoda selera. Padahal semua diambil dengan kamera ponsel. Ia belajar sendiri fotografi dan videografi daring, serta mengedit konten menggunakan aplikasi seperti CapCut.
Tak berhenti di sana, ia bahkan mulai memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk merangkai caption yang persuasif. Hasilnya, akun media sosialnya tak hanya jadi etalase, tapi juga magnet pelanggan.
“Orang sekarang enggak harus punya latar desain atau marketing untuk bisa jualan,” kata Wieke. “Semua bisa dipelajari online, asal mau.”
Berbagi untuk Bertumbuh
Meski usahanya berkembang pesat, Wieke tak memilih jalan individualis. Ia aktif berbagi ilmu kepada puluhan orang di sekitarnya—tentang resep kue, cara foto produk, hingga mengoptimalkan penjualan lewat aplikasi digital.
Pesannya sederhana, tapi kuat: jualan tidak dibatasi tempat. Siapa pun bisa. Yang dibutuhkan hanya kemauan belajar dan keberanian untuk mulai.
Kisah Wieke adalah gambaran nyata bagaimana teknologi mengubah wajah UMKM. Tak sekadar mempertemukan penjual dan pembeli, tapi juga membuka ruang bagi pelaku usaha kecil untuk berinovasi, mandiri, dan tumbuh.
Dari pinggiran kota, Wieke membuktikan: usaha rumahan bisa jadi bisnis yang menjangkau seantero negeri. Dan semuanya bermula dari satu loyang di dapur sebagaimana dikutip dari Antara.