Loading
Kepala Departemen Ekonomi & Keuangan Syariah BI, Imam Hartono. (Antaranews)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia, Imam Hartono, menyatakan bahwa sistem keuangan syariah memiliki ketahanan (resiliensi) yang lebih kuat dibandingkan sistem keuangan konvensional, terutama dalam menghadapi gejolak atau krisis ekonomi.
Imam menjelaskan bahwa salah satu keunggulan utama instrumen keuangan syariah adalah adanya underlying asset atau aset dasar yang wajib mendasari setiap transaksi. Keberadaan aset dasar ini membuat keuangan syariah lebih terlindungi dari unsur spekulasi dan riba, serta lebih stabil secara fundamental.
“Keuangan syariah mempunyai kelebihan dibandingkan yang konvensional karena dia ada underlying. Sehingga biasanya keuangan syariah itu lebih resilient, dan itu terbukti saat terjadi krisis,” ujar Imam kepada wartawan, Kamis.
Imam mengamini bahwa ketidakpastian ekonomi global akan berdampak pada keuangan syariah. Meski begitu, dengan kelebihan yang dimiliki instrumen keuangan syariah, ia berharap para pelaku usaha syariah dapat melakukan mitigasi risiko dengan baik dalam menghadapi ketidakpastian yang masih berlangsung.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti juga mencatat bahwa instrumen keuangan syariah relatif lebih stabil dibandingkan instrumen konvensional.
Ia menyoroti kondisi di Malaysia yang kini menghadapi keterbatasan underlying asset akibat ekspansi keuangan syariah yang sudah masif. Sementara itu, Filipina juga mulai agresif mengembangkan keuangan syariah.
Melihat perkembangan tersebut, Destry menekankan pentingnya Indonesia untuk berada di garis depan dalam pengembangan instrumen keuangan syariah sebab potensi domestik yang masih besar.
“Indonesia baru mulai (mengembangkan instrumen keuangan syariah). Pemerintah sekarang cukup agresif mengeluarkan surat berharga yang bersifat syariah karena ada (kebutuhan) pembiayaan untuk ekonomi syariah, termasuk UMKM. (Pembiayaan UMKM ini) bisa di-bundle dan dijadikan salah satu underlying bagi instrumen keuangan syariah,” kata Destry dikutip Antara.
Mengutip Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia (KEKSI) 2024, nilai outstanding sukuk tercatat dalam tren meningkat dari Rp29,83 triliun pada 2019 menjadi Rp55,26 triliun pada 2024, dengan jumlah sukuk outstanding yang bertambah dari 143 seri menjadi 247 seri.
Sementara akumulasi nilai penerbitan sukuk melonjak dari Rp48,24 triliun pada 2019 menjadi Rp121,16 triliun pada 2024, diiringi peningkatan jumlah penerbitan dari 232 seri menjadi 523 seri.
Bank sentral mencatat, tren positif ini mencerminkan daya tarik sukuk sebagai instrumen investasi syariah yang strategis, mendukung kebutuhan pendanaan jangka panjang perusahaan.
Adapun BI memiliki beragam instrumen keuangan syariah untuk mendukung operasi moneter seperti Sukuk Bank Indonesia (SukBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) yang juga berada dalam tren perkembangan positif sejak pertama kali diterbitkan.
Berdasarkan data BI, outstanding SukBI per Maret 2025 tercatat Rp64,5 triliun, meningkat signifikan dari Rp1,8 triliun pada awal penerbitan Desember 2018. Sedangkan outstanding SUVBI per Maret 2025 tercatat 315 juta dolar AS, naik dari 129 juta dolar AS pada November 2023.