Selasa, 30 Desember 2025

Tarif Ekspor ke AS Turun, Industri Otomotif Indonesia Perlu Akselerasi Daya Saing


 Tarif Ekspor ke AS Turun, Industri Otomotif Indonesia Perlu Akselerasi Daya Saing Ilustrasi - Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza melihat proses produksi dan perakitan berbagai varian merek Chery yang berlangsung di PT Handal Indonesia Motor di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (7/1/2025). (ANTARA/HO-Kemenperin)

JAKARTA, ARAHKITA.COM — Penurunan tarif resiprokal Amerika Serikat dari 32 persen menjadi 19 persen dinilai membawa angin segar bagi ekspor otomotif Indonesia. Meski begitu, para ahli mengingatkan bahwa peluang ini hanya akan bertahan jika industri dalam negeri mampu meningkatkan daya saing secara menyeluruh.

Menurut Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, keringanan tarif ekspor ini berpotensi mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional yang pada tahun 2024 mencatat nilai ekspor mendekati 1 miliar dolar AS atau setara Rp16,3 triliun.

“Penurunan tarif ini memberi ruang napas bagi pelaku industri, namun perlu disikapi dengan peningkatan efisiensi dan daya saing yang konkret,” ujarnya saat dihubungi pada Senin (21/7/2025).

Persaingan Regional Semakin Ketat

Meski tarif ekspor Indonesia kini lebih ringan, Yannes menekankan bahwa tantangan utama datang dari dalam kawasan sendiri. Thailand dan Vietnam terus menunjukkan kemajuan dalam pengembangan industri otomotif.

Vietnam, yang dikenai tarif 20 persen oleh AS, memiliki keunggulan efisiensi berkat kehadiran pabrik mobil listrik VinFast yang mulai menembus pasar global. Sementara Thailand, walaupun dikenai tarif lebih tinggi (36 persen), sudah lama menjadi basis produksi otomotif di Asia Tenggara, didukung infrastruktur komponen yang solid dan terintegrasi.

"Jika ingin bersaing dengan Vietnam dan Thailand, Indonesia harus mengejar ketertinggalan dalam integrasi industri dan efisiensi produksi,” tegas Yannes.

Reformasi Industri Jadi Kunci

Pemerintah Indonesia dinilai perlu memanfaatkan momentum ini untuk mempercepat reformasi sektor otomotif nasional. Tanpa perbaikan menyeluruh, seperti peningkatan teknologi, integrasi rantai pasok, dan strategi ekspor yang responsif terhadap dinamika global, keringanan tarif ini hanya akan menjadi keuntungan jangka pendek.

"Stabilitas pertumbuhan industri otomotif bergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap kebijakan dagang global yang sering berubah," tambah Yannes dikutip Antara.

Latar Belakang Kesepakatan Tarif Baru

Penurunan tarif ekspor ini merupakan hasil negosiasi pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang semula berencana menetapkan tarif 32 persen untuk seluruh produk asal Indonesia per 1 Agustus 2025.

Sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia menyetujui pembelian produk-produk strategis dari AS, termasuk energi senilai 15 miliar dolar AS, produk pertanian sebesar 4,5 miliar dolar AS, dan 50 unit pesawat Boeing—mayoritas dari tipe Boeing 777.

Adapun tarif yang ditetapkan AS terhadap negara-negara ASEAN lainnya adalah: Malaysia 25 persen, Vietnam 20 persen dan tambahan 40 persen untuk transhipment, serta Thailand 36 persen.

Penurunan tarif ekspor ke AS memang menjadi peluang penting bagi Indonesia. Namun tanpa pembenahan mendasar dalam efisiensi, inovasi, dan strategi ekspor, industri otomotif nasional akan sulit bertahan dalam kompetisi global yang semakin ketat.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru