Loading
Peneliti senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy. (Foto : Istimewa)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menegaskan bahwa penerapan kebijakan nontarif (Non-Tariff Measure/NTM) masih sangat relevan untuk melindungi pasar domestik dari dampak penerapan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
“Optimalisasi instrumen Non-Tariff Measure tetap dibutuhkan. Dengan begitu, produk yang masuk ke Indonesia dapat dipastikan sesuai standar yang berlaku,” ujar Yusuf dalam webinar “Menakar Daya Saing Indonesia di Era Tarif Baru: Standarisasi dan Pemastian dalam Perdagangan Global” di Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Meskipun Indonesia dan AS telah menyepakati penurunan tarif resiprokal dari 32 persen menjadi 19 persen, langkah tersebut dinilai belum cukup untuk melindungi industri dalam negeri. Yusuf menekankan, NTM perlu dimaksimalkan agar produk impor, terutama dari AS, tidak mengancam daya saing produk lokal.
Potensi Dampak ke Produk Pertanian
Dalam kesepakatan perdagangan terbaru, Indonesia akan mengimpor produk pertanian dari AS senilai 4,5 miliar dolar AS (sekitar Rp73,31 triliun). Namun, penghapusan hambatan nontarif terhadap sejumlah produk berpotensi membuat komoditas pertanian lokal kalah bersaing, baik dari sisi harga maupun kualitas.
“Kalau pasar impor dibuka tanpa langkah mitigasi yang kuat, produk pertanian lokal bisa tertekan. Karena itu, TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan kebijakan nontarif seperti izin impor, inspeksi, dan verifikasi prapengiriman tetap harus dipertahankan,” jelas Yusuf.
Perluas Pasar dan Perjanjian Dagang
Selain penguatan kebijakan nontarif, Yusuf juga menilai pentingnya diversifikasi pasar ekspor dan percepatan penyelesaian perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA). Upaya ini diperlukan agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada pasar tertentu.
Beberapa langkah yang tengah ditempuh pemerintah antara lain memperluas pasar ekspor ke kawasan nontradisional seperti Timur Tengah dan Afrika, serta merampungkan sejumlah kesepakatan dagang bilateral. Di antaranya Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA-CEPA), Indonesia–Eurasian Economic Union Free Trade Agreement (I–EAEU FTA), Indonesia-Tunisia Preferential Trade Agreement (IT-PTA), hingga Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang dijadwalkan diteken akhir tahun ini.
Pentingnya Stabilitas Ekonomi
Lebih lanjut, Yusuf menekankan bahwa kebijakan nontarif perlu diiringi dengan penguatan trade remedies serta konsolidasi kebijakan moneter dan fiskal. Tujuannya adalah menjaga stabilitas makroekonomi sekaligus melindungi industri dalam negeri dari gempuran produk impor.