Selasa, 30 Desember 2025

Ekonom: Kebijakan Penempatan Dana Pemerintah Rp200 Triliun Perlu Didukung Kenaikan Permintaan Kredit


 Ekonom: Kebijakan Penempatan Dana Pemerintah Rp200 Triliun Perlu Didukung Kenaikan Permintaan Kredit Penempatan Rp200 Triliun Perlu Diikuti kenaikkan Permintaan Kredit. (Antaranews)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) hanya akan efektif jika diiringi dengan peningkatan permintaan kredit dari dunia usaha.

“Sepanjang isu permintaan (kredit) tidak dicarikan solusi, dunia usaha tidak akan ekspansif. Sehingga menggelontorkan likuiditas perbankan tidak akan membantu,” ujar Wijayanto di Jakarta, Senin (15/9).

Kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mendorong pembiayaan sektor produktif melalui penempatan dana yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia (BI), ke lima bank milik negara. Rinciannya: Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing menerima Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, dan BSI Rp10 triliun.

Dana tersebut berasal dari sisa anggaran pemerintah (SAL) yang belum digunakan, bukan dari dana darurat. Harapannya, dana itu bisa mempercepat penyaluran kredit ke sektor riil dan menciptakan efek pengganda terhadap perekonomian nasional.

Namun demikian, Wijayanto menegaskan bahwa tanpa permintaan kredit yang kuat, kebijakan tersebut justru berisiko membebani sektor perbankan.

“Kebijakan ini tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada perbaikan iklim usaha dan daya beli masyarakat. Jika tidak, bank hanya akan menanggung risiko kredit macet yang tidak perlu,” katanya.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa meski kredit nasional masih tumbuh sebesar 7,03 persen secara tahunan (yoy) pada Juli 2025 menjadi Rp8.043,2 triliun, laju pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan dengan Juni yang mencapai 7,77 persen. Angka ini menjadi yang terendah sejak Maret 2022.

Selain itu, kredit yang belum terealisasi atau undisbursed loan justru meningkat 9,52 persen, mengindikasikan tingginya kehati-hatian perbankan dan melemahnya minat dunia usaha dalam menyerap pembiayaan.

Wijayanto juga menyoroti bahwa penempatan dana pemerintah perlu difokuskan pada sektor-sektor yang telah terbukti mampu menggerakkan ekonomi, terutama yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli.

“Dana Rp200 triliun sebaiknya diarahkan ke sektor-sektor yang sudah teruji memberikan dampak ekonomi riil,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia memperingatkan bahwa penarikan dana sebesar itu dari Bank Indonesia berpotensi menggerus cadangan fiskal pemerintah. Dengan dana tersebut, outstanding SAL tersisa Rp250 triliun.

“Jika kondisi fiskal memburuk di 2025 atau 2026, dan penerimaan pajak terlambat, maka SAL tidak cukup untuk menopang belanja negara. Ini bisa menjadi risiko fiskal yang serius,” pungkasnya.

Editor : Lintang Rowe

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru