Selasa, 30 Desember 2025

Sant’Egidio Jakarta: Jembatan Damai dari Tengah Kota yang Tak Pernah Tidur


 Sant’Egidio Jakarta: Jembatan Damai dari Tengah Kota yang Tak Pernah Tidur Ilustrasi - Logo Sant’Egidio (Wikipidea)

GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI

DI TENGAH hiruk-pikuk Jakarta, ada sekelompok orang yang setiap pekan berjalan kaki di antara gedung, gang sempit, dan lorong terminal. Mereka bukan sedang berdemo atau berbisnis, melainkan membawa sapaan sederhana: “Apa kabar, Sahabat?”

Mereka adalah anggota Komunitas Sant’Egidio, sebuah gerakan awam Katolik yang lahir di Roma pada 1968 oleh Andrea Riccardi. Di Indonesia, termasuk di Jakarta, komunitas ini hadir bukan sebagai organisasi besar dengan bendera dan atribut, melainkan sebagai keluarga persahabatan lintas iman yang hidup di tengah masyarakat dan berpihak pada yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.

Pelayanan yang Menghidupkan

Setiap Jumat malam, relawan Sant’Egidio berjalan ke titik-titik pertemuan “Sahabat Jalanan” — mereka yang hidup di trotoar, di bawah jembatan, atau di emper toko. Mereka berbagi makanan, mendengarkan cerita, dan berdoa bersama.

Di Minggu pagi, beberapa anggota lainnya mengajar di “Sekolah Damai” — program pendidikan informal untuk anak-anak kurang mampu di daerah Sunter dan Kedoya. Ada pula “Mensa Kedoya”, kantin kasih gratis bagi keluarga sederhana, serta kunjungan mingguan ke Panti Werdha Santa Anna di Teluk Gong.

Bagi Sant’Egidio, pelayanan bukan sekadar karitas, tapi cara membangun jembatan kemanusiaan. Seperti semboyan mereka: Prayer, Poor, Peace — doa, kaum miskin, dan perdamaian.

Lintas Iman, Satu Tujuan

Meski berakar dari Gereja Katolik, komunitas ini terbuka bagi siapa pun. Tidak sedikit anggota maupun relawan yang berasal dari latar belakang iman berbeda. Mereka bekerja bersama dengan semangat kesetaraan, tanpa mempersoalkan label agama.

“Damai bukanlah hasil negosiasi politik, tetapi buah dari pertemuan hati manusia,” kata Erlip Vitarsa, Koordinator Komunitas Sant’Egidio Indonesia, dalam salah satu wawancaranya.

Spirit lintas iman ini sejalan dengan gerakan global Sant’Egidio yang dikenal luas karena peran aktifnya dalam dialog antaragama dan perdamaian dunia — termasuk dalam proses mediasi konflik di Mozambik dan berbagai negara Afrika.

Dari Roma ke Jakarta: Satu Roh, Banyak Aksi

Tahun lalu, komunitas Sant’Egidio di Pulau Jawa berkumpul di Jakarta untuk merayakan ulang tahun ke-56. Sekitar 230 peserta — mulai dari pelajar, pengungsi, hingga lansia — hadir untuk berdoa dan berbagi cerita. Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo memimpin misa syukur, menegaskan bahwa “Kasih hanya bisa bertumbuh bila kita keluar dari kenyamanan diri.”

Pesan ini menjadi napas hidup bagi komunitas yang tak pernah berhenti menebar kebaikan, bahkan di masa sulit pandemi atau ketegangan sosial.

Sebuah Gerakan yang Tumbuh dalam Sunyi

Di tengah arus media sosial dan isu-isu yang cepat berlalu, Sant’Egidio tetap memilih jalan sunyi: menemani, bukan menonjolkan diri. Mereka hadir di rumah-rumah sederhana, di gang sempit, di panti-panti jompo, dan di ruang doa kecil di pusat kota.

Sant’Egidio Jakarta bukan sekadar komunitas Katolik. Ia adalah sebuah kesaksian lintas iman tentang kasih yang bekerja dalam diam — kasih yang membangun perdamaian, mulai dari satu sapaan kecil di jalanan.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Global Harmony Terbaru