Selasa, 30 Desember 2025

Lian Gogali: Perempuan dari Poso yang Merawat Perdamaian Melalui Cerita dan Pendidikan


 Lian Gogali: Perempuan dari Poso yang Merawat Perdamaian Melalui Cerita dan Pendidikan Lian Gogali saat beraktifitas bersama peserta Sekolah Perempuan. (Foto: Arsip Institut Mosintuwu)

GLOBAL HARMONY | HARMONY LEADERS

DI POSO, Sulawesi Tengah, nama Lian Gogali tak hanya dikenal sebagai aktivis. Ia adalah suara yang tumbuh dari reruntuhan konflik, lalu menjahit kembali hubungan sosial yang sempat koyak. Melalui Institut Mosintuwu—organisasi yang ia dirikan pasca konflik—Lian menggerakkan rekonsiliasi dari ruang-ruang kecil: dapur, sekolah, hingga pertemuan perempuan lintas agama.

Pendekatan inilah yang membuatnya menjadi salah satu figur paling penting dalam gerakan perdamaian di Indonesia Timur. Bukan lewat pidato megah, tetapi melalui percakapan-percakapan intim yang membongkar trauma dan membangun kepercayaan baru.

Dari Peneliti ke Penggerak Rekonsiliasi

Sebelum mendirikan Mosintuwu, Lian adalah peneliti sosial yang menaruh perhatian pada hubungan agama, gender, dan konflik. Namun saat kekerasan Poso pecah, ia menyaksikan sendiri bagaimana perempuan menanggung beban paling berat dari konflik: kehilangan suami, anak, rumah, dan keamanan.

Di titik itu, Lian memilih jalan yang tidak banyak ditempuh: ia tidak menjauh dari konflik, melainkan merangkul masyarakat yang porak-poranda. Dari kegetiran itulah Mosintuwu lahir—sebagai ruang aman untuk mengobati luka sosial dan membangun kembali hubungan antarwarga.

Sekolah Perempuan: Membangun Keberanian dari Cerita

Program pertama Mosintuwu adalah Sekolah Perempuan, tempat perempuan berbagai agama dan latar berkumpul tanpa jarak. Mereka belajar banyak hal—mulai dari mengenali hak-hak dasar, memahami peran mereka dalam masyarakat, hingga membongkar prasangka yang diwariskan konflik.

Yang paling kuat dari Sekolah Perempuan adalah cerita. Di ruangan itu, perempuan Kristen dan Muslim duduk bersama, saling mendengar kisah kehilangan, ketakutan, dan harapan. Kedekatan itu meruntuhkan tembok yang sebelumnya seakan tidak mungkin ditembus lagi.

Bagaimana perdamaian terbangun? Tidak dengan kuliah panjang, tetapi ketika seorang perempuan berkata:

“Aku tak pernah tahu kamu mengalami luka yang sama.”

Dari titik itu, rekonsiliasi menjadi mungkin.

Anak Muda dan Sekolah Perdamaian

Tidak hanya perempuan, Lian juga menyasar anak muda lewat Peace School atau Sekolah Perdamaian. Anak-anak lintas iman yang lahir setelah konflik diberi kesempatan untuk bertemu, belajar mengenali bias, dan melihat sisi manusia dari “kelompok lain”.

Pada generasi inilah Poso dititipkan. Menurut Lian, mencegah konflik masa depan lebih penting daripada sekadar menyelesaikan konflik masa lalu.

Perpustakaan Keliling dan Dialog dari Dapur

Salah satu inovasi Mosintuwu yang terkenal adalah perpustakaan keliling, yang membawa buku ke kampung-kampung terpencil di Poso. Pada masyarakat pasca konflik, literasi adalah pintu masuk untuk menyalakan harapan baru.

Selain itu, ada metode yang unik dan sangat efektif: Dialog Dapur.

Perempuan memasak bersama, kemudian makan bersama. Dari suasana akrab itulah percakapan dimulai—jauh lebih jujur dan cair dibandingkan forum resmi. Banyak permusuhan lama luluh sembari mengiris bawang atau menanak nasi.

Ruang domestik menjadi ruang diplomasi.

Pengakuan Internasional, Kerja Lokal yang Tak Pernah Selesai

Kiprah Lian mengundang perhatian dunia. Ia mendapatkan N-Peace Award, diundang berbicara di berbagai forum internasional, dan diakui sebagai salah satu pemimpin perdamaian paling progresif di Asia Tenggara.

Namun bagi Lian, segala penghargaan itu bukan tujuan akhir. Fokusnya tetap pada masyarakat Poso—pada ibu-ibu yang ingin anaknya aman bersekolah, pada warga yang ingin kembali berkawan, pada anak muda yang ingin tumbuh tanpa mewarisi trauma generasi sebelumnya.

Ia selalu menekankan: “Perdamaian bukan proyek. Ini proses panjang—dan kita semua harus terlibat.”

Mengapa Kisah Lian Gogali Penting untuk Indonesia

Poso adalah contoh bahwa konflik paling kelam sekalipun bisa menemukan cahaya ketika masyarakat diberi ruang untuk saling mendengar. Pendekatan Lian menunjukkan bahwa:

  • perempuan memiliki peran pusat dalam perdamaian,
  • rekonsiliasi tidak harus megah—cukup jujur,
  • pendidikan dapat membebaskan generasi baru dari lingkaran dendam,
  • dan perdamaian lahir dari relasi yang dipulihkan, bukan sekadar perjanjian politik.

Di tengah dunia yang semakin mudah terbelah oleh perbedaan, kisah Lian menjadi teladan bahwa perdamaian bisa ditumbuhkan dari dapur rumah, dari kelas kecil, dari desa yang pernah hancur oleh perang.

Ia bukan hanya penyintas. Ia adalah penggerak harapan.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Global Harmony Terbaru