Loading
Aktivis sosial dan budaya, Simply da Flores . (Foto: Istimewa)
GLOBAL HARMONY | VOICES OF PEACE
Oleh: Simply da Flores
SETIAP tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional — sebuah momen untuk mengenang mereka yang telah memberikan segalanya demi kemerdekaan dan kehormatan negeri ini.
Namun, di balik upacara, doa, dan tabur bunga, tersisa pertanyaan yang tak pernah lekang oleh waktu: apakah para pahlawan kita benar-benar telah merasakan damai dan keadilan di alam baka?
Apakah jiwa mereka tenang menyaksikan kondisi bangsa yang mereka perjuangkan dengan darah dan air mata, delapan puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan?
Doa dan Harapan Semua Orang
Setiap bangsa memiliki caranya sendiri untuk menghormati para leluhur dan pahlawan. Dalam adat dan ajaran agama, doa bagi mereka yang telah tiada selalu bermakna: semoga damai dan bahagia di alam abadi.
Sebagian pahlawan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, sebagian lainnya mendapat gelar resmi sebagai Pahlawan Nasional atau Pahlawan Daerah. Namun, tak sedikit pula yang hilang tanpa nama — tanpa pusara, tanpa tanda.
Mereka tetap pahlawan, meski sejarah tak sempat menuliskan nama mereka di batu nisan.
Dan kita pun bertanya dalam diam: masihkah ada ruang dalam hati bangsa ini untuk mengenang mereka?
Kriteria dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
Negara telah menetapkan prosedur dan kriteria untuk seseorang diakui sebagai Pahlawan Nasional — mulai dari jasa dalam perjuangan kemerdekaan hingga pengabdian setelah kemerdekaan.
Di berbagai daerah berdiri Taman Makam Pahlawan sebagai tempat penghormatan terakhir bagi mereka yang dianggap berjasa luar biasa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, publik kerap dibuat gelisah oleh polemik pengusulan gelar Pahlawan Nasional.
Ada yang dinilai tak memenuhi kriteria, ada yang diperdebatkan karena kepentingan politik, bahkan ada yang ditolak karena alasan moral atau sejarah yang belum jelas.Kini, tampaknya bukan hanya kriteria yang diuji, tapi juga kebijaksanaan bangsa dalam memaknai arti kepahlawanan.
Utang Bangsa kepada Para Pahlawan
Kita hidup di negeri yang merdeka berkat darah dan air mata para pejuang. Mereka berkorban tanpa pamrih — menyerahkan harta, jiwa, bahkan keluarga demi kemerdekaan Indonesia. Namun, di tengah realitas hari ini, tampak jelas bahwa bangsa ini masih memiliki “utang moral” kepada mereka.
Korupsi, ketimpangan, dan hilangnya empati sosial seolah menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Apakah ini bentuk penghargaan yang layak bagi para pahlawan?Apakah ini balasan untuk perjuangan mereka yang rela mati agar kita bisa hidup merdeka?
Peringatan Hari Pahlawan semestinya tak berhenti pada upacara dan wacana seremonial. Ia harus menjadi cermin nurani, pengingat bagi rakyat dan pejabat bahwa kemerdekaan bukan hadiah abadi, melainkan warisan yang harus dijaga dengan kejujuran dan keberanian.
Jiwa Pahlawan yang Menggugat
Bayangkan bila jiwa para pahlawan datang kembali melihat keadaan negeri ini. Mungkin mereka akan bertanya: Apakah sumpah jabatan masih dipegang teguh? Apakah rakyat benar-benar merdeka dari ketidakadilan dan kemiskinan?
Jangan sampai jiwa mereka tak tenang karena kita abai pada amanat perjuangan.
Sebab, merah darah dan putih tulang mereka adalah simbol yang hidup — pengingat abadi bahwa keadilan dan kebenaran tak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi.
Semoga dalam peringatan Hari Pahlawan ini, kita semua belajar kembali menghormati, mengenang, dan melanjutkan perjuangan mereka — bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan nyata.
Semoga Jiwa Mereka Damai, dan Bangsa Ini Kembali Setia pada Cita-Cita Kemerdekaan.
Penulis: Aktivis Sosial dan Budaya. Tinggal di Jakarta