Loading
Foto ilustrasi Freepikcom
MAHASISWA di sebuah universitas Hong Kong terlihat menggunakan headset virtual reality. Mereka tengah melakukan perjalanan ke paviliun di atas awan untuk menyaksikan Albert Einstein yang dibuat oleh artificial intelligence (AI) tengah menjelaskan teori permainan.
Pemandangan para mahasiswa dengan alat virtual reality merupakan bagian dari mata kuliah di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong (HKUST) yang menguji penggunaan ‘dosen AI’ seiring dengan revolusi kecerdasan buatan yang melanda kampus-kampus di seluruh dunia.
Ketersediaan alat secara massal seperti ChatGPT seperti dilansir dari Channel News Asia (CNA), telah memicu optimisme akan lompatan baru dalam produktivitas dan pengajaran, namun juga ketakutan akan kecurangan, plagiarisme, dan penggantian instruktur manusia.
Profesor Pan Hui, pimpinan proyek AI di HKUST, mengatakan tidak khawatir perannya akan digantikan oleh teknologi AI. Dia percaya bahwa teknologi AI justru dapat membantu meringankan apa yang ia gambarkan sebagai kekurangan guru secara global.
“Guru AI dapat menghadirkan keberagaman, menghadirkan aspek yang menarik, dan bahkan penyampaian cerita yang mendalam,” kata Hui.
Pengajaran dosen AI uga dipadukan dengan tatap muka oleh Hui. Dia mengatakan, sistem gabungan dosen AI dan manusia yang dia terapkan membebaskan dari bagian pekerjaan yang ‘membosankan’.
Lalu, bagaimana dengan reaksi mahasiswa? Bagi Lerry Yang, yang penelitian PhD-nya berfokus pada metaverse, keunggulan dosen AI adalah kemampuannya menyesuaikannya dengan preferensi individu dan meningkatkan pembelajaran.
“Jika guru AI membuat saya merasa lebih reseptif secara mental, atau jika guru itu terasa mudah didekati dan ramah, maka hal itu akan menghapus perasaan jarak antara saya dan profesor,” katanya.
Saat ni, para pendidik di seluruh dunia sedang bergulat dengan meningkatnya penggunaan AI generatif, mulai dari upaya mendeteksi plagiarisme hingga menetapkan batasan penggunaan alat-alat tersebut.
Meskipun pada awalnya ragu-ragu, sebagian besar universitas di Hong Kong pada tahun lalu mengizinkan mahasiswanya menggunakan AI.
Di HKUST, Hui menguji avatar dengan gender dan latar belakang etnis yang berbeda, termasuk kemiripan dengan tokoh akademis terkenal seperti Einstein dan ekonom John Nash.
“Selama ini tipe dosen yang paling banyak digemari ternyata adalah wanita-wanita muda yang cantik,” kata Hui.
Eksperimen dengan karakter anime Jepang ternyata memecah opini. Bagi suka sangat menyukainya, tapi ada beberapa mahasiswa yang merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan (dosennya),” kata Christie Pang, seorang mahasiswa PhD yang bekerja dengan Hui dalam proyek tersebut.
Mungkin, kata Hui, nantinya ada masa depan di mana guru AI akan melampaui manusia dalam hal kepercayaan, meskipun dia lebih memilih kombinasi keduanya.
“Kita sebagai dosen akan lebih menjaga mahasiswa kita, misalnya dalam kecerdasan emosional, kreativitas, dan berpikir kritis,” ujarnya.
Untuk saat ini, meskipun terdapat faktor wow bagi siswa, teknologi ini masih jauh dari tingkat yang dapat menimbulkan ancaman serius bagi guru.
Dosen AI tidak dapat berinteraksi dengan siswa atau menjawab pertanyaan dan seperti semua pembuat konten yang didukung AI, ia dapat memberikan jawaban yang salah, bahkan aneh, sehingga terkadang disebut ‘halusinasi’.
Dalam survei terhadap lebih dari 400 mahasiswa tahun lalu, profesor Universitas Hong Kong Cecilia Chan menemukan bahwa responden lebih memilih manusia daripada avatar digital.
“Siswa masih lebih suka berbicara dengan orang sungguhan, karena guru yang sebenarnya akan memberikan pengalaman, masukan, dan empati mereka sendiri,” kata Chan, yang meneliti titik temu antara AI dan pendidikan.
"Meski demikian, siswa sudah menggunakan alat AI untuk membantu mereka belajar, tambah Chan.
"Semua orang melakukannya."
Di HKUST, Yang murid Hui, menganut pandangan serupa. "Anda tidak bisa melawan kemajuan teknologi,” tegasnya.