Loading
Field Manager Nara Puncak, Deni Efriyansa berada di tengah kebun dengan hasil kebun. (Foto: Dok. Nara Puncak)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Saat ini Pemerintah Indonesia gencar membuka lahan pertanian guna menopang kebutuhan pangan masyarakatnya, agar terhindar dari krisis pangan.
Di tengah pergolakan dunia yang tidak menentu, sejumlah negara mulai membatasi komoditi ekspornya, termasuk bahan pangan.
CEO GMT Property, Fransiscus Go menggugah dan mengajak generasi muda terlibat dan mau terjun di sektor pertanian.
Menurut Fransiscus Go, kegelisahan banyak negara yang digadang-gadang akan mengalami krisis pangan, lantaran generasi muda mereka ogah jadi petani, atau setidaknya mengarap lahan pertanian yang ada.
Indonesia memiliki alam dan tanah yang subur, sehingga sangat layak menjadi produsen pertanian. "Namun realitanya, Indonesia justru masih menjadi pengimpor beberapa sektor pertanian utama dalam jumlah yang sangat besar. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) selama lima tahun terakhir, impor beras Indonesia terbanyak tahun 2023," kata Fransiscus Go, calon gubernur NTT periode 2024 - 2029.
Fransiscus Go mencontohkan Jepang sebagai salah satu negara yang saat ini dihantui krisis pangan. Padahal, Negeri Sakura itu memiliki teknologi canggih yang menunjang pertanian mereka.
Kekhawatiran akan dilanda krisis pangan, karena generasi muda Jepang ogah jadi petani dan mulai meninggalkan sektor tersebut. Banyak lahan pertanian di Jepang terbengkalai, tidak terurus. Ironisnya, jumlah penduduk muda di daerah pedesaan Jepang, kian menurun dari tahun ke tahun. Kondisi ini diakibatkan menurunnya tingkat kelahiran dan banyaknya warga yang migrasi ke kota besar.
Kondisi ini tentu akan menyulitkan sektor pertanian Jepang. Apalagi, usia para petani di Jepang di atas 60 tahun. Mereka akan bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya. Bahkan Pemerintah Jepang mulai mewacanakan pekerja asing, untuk menggarap sawah ladang yang banyak terbengkalai.
Dalam pandangan Fransiscus Go, salah satu masalah utama penyebab mundurnya sektor pertanian di Indonesia, adalah kurangnya minat generasi muda menggeluti pekerjaan di bidang tersebut. Hal ini dikarenakan sektor pertanian di Indonesia dianggap sebagai pekerjaan yang tidak dapat mendatangkan kemakmuran, melelahkan dan kuno. Selain itu, mahalnya ongkos pertanian (obat-obat hama dan perawatan tanaman), tidak sebanding dengan harga hasil panen. "Jangankan membicarakan keuntungan, untuk balik modal pun sangat sulit dilakukan para petani. Faktor inilah salah satunya yang menyebabkan banyak anak muda Indonesia tidak tertarik untuk menggeluti pekerjaan ini," tandas Fransiscus Go.(*)