Selasa, 30 Desember 2025

Kompleksitas Pengelolaan E-Waste di Indonesia: Perlu Regulasi dan Diplomasi


 Kompleksitas Pengelolaan E-Waste di Indonesia: Perlu Regulasi dan Diplomasi Kompleksitas Pengelolaan E-Waste di Indonesia. (Citarum Harum)

 

Oleh

Jusmalia Oktaviani, S.Sos., MA.

(Dosen Program Studi Hubungan Internasional Unjani)

 dan

Prasetia Anugrah Pratama,S.Hub., Int MPPM., M.Sos

(Indonesian Climate Justice Studies)

------------------------------------------

SAMPAH elektronik atau e-waste memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat di Indonesia, sehingga dikategorikan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

E-waste mengandung berbagai zat beracun seperti merkuri, timbal, kadmium, dan bahan kimia lainnya yang berbahaya jika tidak dikelola dengan benar. Ketika limbah ini dibuang sembarangan atau didaur ulang tanpa prosedur yang aman, zat-zat tersebut bisa mencemari udara, tanah, dan air, serta membahayakan kesehatan manusia.

Laporan dari United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) dalam The Global Waste Monitor 2024, Indonesia adalah penyumbang terbesar sampah elektronik di Asia Tenggara, yang mencapai hampir 2 juta ton. Data ini sama dengan data dari Kementerian Lingkungan Hidup yang menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 2 juta ton e-waste setiap tahunnya, namun hanya sebagian kecil yang dikelola dengan standar ramah lingkungan.

Di Indonesia, e-waste baru bisa terkelola dengan tepat hanya sekitar 17,4 persen dari totaI 2 juta ton.  Di beberapa wilayah seperti di kawasan Tangerang dan Bekasi, praktik daur ulang informal masih lazim dilakukan, di mana masyarakat membakar kabel atau membuka perangkat elektronik tanpa perlindungan memadai. Praktik ini melepaskan zat beracun ke lingkungan, yang bisa menyebabkan penyakit pernapasan, gangguan saraf, dan bahkan kanker bagi para pekerja dan masyarakat sekitar.

Dengan jumlah e-waste yang terus meningkat seiring pertumbuhan teknologi dan konsumsi perangkat elektronik, dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat di Indonesia pun menjadi semakin serius.

E-waste dari Luar Negeri

Masalah sampah elektronik di Indonesia menjadi kian rumit karena menyangkut juga permasalahan global. Sebab, selain dari dalam negeri, ada juga permasalahan sampah elektronik yang merupakan hasil pengiriman negara-negara maju. Karena sampah ini merupakan sampah berbahaya, pengelolaan dan daur ulangnya membutuhkan fasilitas, pendanaan, dan tenaga kerja yang mahal.

Pengaturan sampah elektronik juga masih kurang ketat, meskipun ada Konvensi Basel 1989 yang melarang pergerakan limbah berbahaya dari negara maju ke negara berkembang. Pada intinya, Konvensi ini mengatur bahwa limbah berbahaya seharusnya dikelola sedekat mungkin dengan sumbernya, dan harus dengan fasilitas yang memadai.

Namun seperti kita ketahui, negara yang jadi tujuan impor sampah seperti Indonesia, lemah dalam penegakan regulasi terkait lingkungan, serta faktor geografis yang luas mengakibatkan lemahnya pengawasan di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Selain sampah dalam negeri, e-waste dari luar negeri menambah beban negara, ditambah pula dengan fasilitas pengelolaan sampah dari negara kita yang jauh dari memadai.

Pengelolaan e-waste level masyarakat

Ketidaktahuan masyarakat mengenai bahaya e-waste serta minimnya regulasi yang ditegakkan menjadi tantangan utama dalam penanganan masalah ini. Dalam pembelian atau konsumsi elektronik di masa kini, konsumen seringkali tdidorong untuk membeli produk baru, dibandingkan dengan memperbaiki produk lama. Tidak semua masyarakat memahami bahwa sampah elektronik mereka memerlukan  perlakuan khusus dan ada tempat sampah khusus untuk itu.

Regulasi dari pemerintah akan sangat membantu masyarakat, dengan menyediakan tempat khusus sampah elektronik misalnya. Namun inisiatif ini biasanya hanya di beberapa kota, belum merata ke seluruh Indonesia. Inisiatif pihak swasta sebenarnya sudah mulai terlihat, menyediakan waste station khusus e-waste, bahkan menyediakan jasa pengiriman, pengantara, dan pengambilan sampah berbahaya. Sayangnya, lagi-lagi inisiatif ini tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Inisiatif pihak swasta seperti perusahaan, kantor, mal, sekolah, universitas, yang mulai menerapkan ekonomi sirkular, pemisahan limbah berbahaya, pengelolaan e-waste, dan pengaturan limbah adalah langkah yang harus didukung pemerintah, bahkan jika perlu ditiru. Pemerintah tidak bisa hanya melarang masyarakat untuk membuang sampah sembarangan, namun pemerintah juga harus mampu menyediakan fasilitas untuk itu.

Kebijakan Pemerintah dalam e-Waste Harus Serius

Pemerintah kita harus lebih serius dalam beberapa hal, jika ingin Indonesia lepas dari e-waste: kesatu, Regulasi; kedua, Infrastruktur, ketiga, Diplomasi.

Pertama, regulasi dari semua level, baik perencanaan, pembuatan, sosialisasi, penegakan, dan pengawasan. Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan Kepres RI No. 61 Tahun 1993, sebagai hasil dari implementasi Konvensi Basel yang telah diratifikasi.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, mengikuti perkembangan teknologi yang menyebabkan konsumsi elektonik menjadi sangat masif, pemerintah perlu segera memperkuat regulasi dan sistem pengelolaan e-waste secara nasional, termasuk mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab atas daur ulang produk mereka atau menjalankan extended producer responsibility. Edukasi publik mengenai bahaya e-waste dan pentingnya daur ulang yang aman juga sangat krusial.

Selain itu, masih kurangnya fasilitas pengelolaan e-waste yang memenuhi standar internasional memperburuk keadaan. Tanpa penanganan yang sistematis dan terstruktur, Indonesia berisiko menghadapi krisis lingkungan dan kesehatan jangka panjang akibat limbah elektronik. Di sisi lain, investasi dalam pembangunan fasilitas pengolahan e-waste yang modern dan ramah lingkungan harus menjadi prioritas.

Apabila Indonesia ingin serius dalam pengelolaan sampah elektronik, dari data sebenarnya ada potensi ekonomi tinggi mencapai hingga 14 miliar dollar AS atau setara 200 triliun rupiah dari ekstraksi bahan-bahan material berharga yakni emas, tembaga, perak, platinum, dan lain-lain.

Ketiga, yang terakhir adalah diplomasi di tingkat global. Setelah China menutup negaranya dari Impor sampah, Indonesia menjadi tempat sampah negara lain hingga menjadi peringkat pertama dalam sampah e-waste di Asia Tenggara.

Perlu adanya kerja sama dan diplomasi yang lebih tegas dalam menindaklanjuti sampah B3 yang dilarang oleh Konvensi Basel. Selama ini, negara-negara berkoordinasi hanya sebatas impor ekspor, namun apabila ada penindakan sampah ilegal, biasanya dikembalikan pada hukum dan kebijakan negara masing-masing.

Dengan kata lain, negara-lah yang aktif melakukan pelaporan dan diplomasi kepada negara pengimpor dan sekretariat konvensi Basel untuk bisa mengirimkan kembali sampah yang telah diimpor untuk kembali ke negara asalnya. Negara yang dikirimi sampah ilegal seperti Indonesia harus lebih aktif dalam menyuarakan isu ini pada negara-negara maju pengekspor sampah. Jika perlu, menjadi inisiator dari grup Global South untuk mencegah pengiriman sampah ilegal karena negara-negara berkembang seperti Afrika pun menjadi korban pengiriman sampah elektronik ini.

Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat baik di level global maupun nasional, sangat diperlukan untuk mengurangi dampak negatif e-waste secara berkelanjutan.

Editor : Lintang Rowe

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Suara Kita Terbaru