Rabu, 31 Desember 2025

Reformasi Tata Kelola Pembiayaan Pendidikan


 Reformasi Tata Kelola Pembiayaan Pendidikan Dr. Salman Habeahan, S.Ag.MM, Direktur Pendidikan Katolik, Pengajar Pada Program Pascasarjana Univ. Budi Luhur Jakarta. (Foto: Istimewa)

 Oleh: Dr. Salman Habeahan

Direktur Pendidikan Katolik, Pengajar Pada Program Pascasarjana Univ. Budi Luhur Jakarta

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi bukan sekedar soal pendidikan gratis, melainkan soal alokasi anggaran Pendidikan kurang tepat sasaran sesuai dengan mandatori Undang-undang Dasar 1945 Psl. 31 ayat 4.

Salah satu pesan penting dari  Putusan MK No. 3 Tahun 2025, selain menjamin akses pendidikan bagi masyarakat tidak mampu, dan mutu pendidikan adalah momentum penting untuk mereformasi  tata kelola pembiayaan pendidikan, alokasi anggaran pendidikan 20 % dari APBN.

Putusan MK hendak menegaskan agar alokasi anggaran pendidikan secara optimal memberikan pelindungan dan jaminan hak terhadap semua anak atas layanan pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi, khusususnya alokasi anggaran untuk pendidikan dasar sesuai dengan amanat konstitusi. 

Kebijakan pendidikan Presiden Prabowo sejak awal ditunjukan dengan politik anggaran,  secara nominal terjadi peningkatan Anggaran Pendidikan yang dihitung sebesar 20 % APBN, dari semula Rp. 665,02 Trilliun pada tahun 2024 menjadi Rp. 724,26 Trilliun pada APBN 2025, naik 12 % termasuk untuk gaji guru/dosen, dan 23 kementerian/lembaga non pendidikan, yang seharusnya diluar sekolah kedinasan (UUD 1945, Psl. 49).

Presiden Prabowo menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan dengan menjadikannya sebagai prioritas nasional (Astacita), memberikan akses pendidikan yang lebih berkualitas bagi seluruh masyarakat,  sehingga pendidikan dapat menjadi kunci utama dalam mewujudkan kemajuan bangsa. Saya pertaruhkan kepemimpinan saya untuk pendidikan. Pendidikan sangat mutlak bagi kita semua, ungkap Presiden Prabowo dalam pidatonya. 

Reformasi Tata Kelola Anggaran  Pendidikan  Postur Alokasi Anggaran Pendidikan Tahun Anggaran 2025, 20 % dari APBN (Rp. 3.621,31 Trilliun yakni sebesar Rp. 724,26 Trilliun dengan alokasi sebagai berikut: transfer ke daerah Rp. 347,09 Trilliun (47,92 %); pembiayaan pendidikan Rp. 55,00 Trilliun, (7,59 %); Dana Abadi Pendidikan Rp. 25,00 Trilliun (3,45 %); Anggaran Kemendikdasmen Rp. 33,55 Trilliun (4,63 %); Anggaran Kemendiktissaintek Rp. 57, 68 Trilliun (7,96%); Anggaran untuk Kementerian Agama Rp. 65,92 Trilliun (9,10 %); Anggaran Pendidikan pada Kementerian/Lembaga lainnya Rp. 104,47 Trilliun; dan Anggaran Pendidikan Non Kementerian/Lembaga Rp. 35,55 Trilliun (Perpres No. 201 Tahun 2024 tentang Rincian APBN Tahun 2025).  

Bila kita cermati postur anggaran tersebut di atas, anggaran pendidikan ini tersebar di 23 kementerian/lembaga. Artinya, ada 20 kementerian/lembaga yang mendapat alokasi anggaran pendidikan sebesar 26,8 persen tersebut di luar Kemendikdasmen, Kemendiktisaintek, dan Kemenag. Postur anggaran 2025 Perguruan Tinggi pada K/L dan lainnya (Rp104,47 T), dan anggaran pendidikan non K/L (Rp35,55 T), dimana  (total K/L dan non K/L) nilainya jauh lebih besar ketimbang anggaran, Kementerian Agama 65. 92 Trilliun,  Kemendikdasmen RI yang sebesar Rp33,55 Trilliun, dan Kemendiktisaintek RI yang sebesar Rp57,68 (anggaran total kedua kementerian yang berurusan dengan sekitar 55 juta orang hanya Rp 91,23 T, sementara PT KL hanya mengurus sekitar 200 ribu orang).

Postur anggaran tahun 2025 PT pada K/L dan lainnya adalah Rp104,47 Trilliun, dan non K/L Rp35,55 Trilliun, dan pembiayaan pendidikan Rp55,00 Trilliun. Artinya, dalam anggaran pendidikan terdapat pos anggaran yang peruntukannya belum terencana, yaitu anggaran pendidikan pada belanja non-K/L sebesar Rp35,55 Trilliun dan pembiayaan pendidikan sebesar Rp55,00 Trilliun. Anggaran pendidikan pada K/L mencapai Rp261 triliun (terbesar kedua setelah belanja pendidikan pemda Rp297 triliun). Anggaran ini jauh lebih besar dibanding Kemendiktisaintek (Rp 57 triliun). Ini adalah bentuk inkonsistensi terhadap UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat 1, yang melarang penggunaan anggaran pendidikan untuk, antara lain, gaji pendidik dan pembiayaan sekolah-sekolah kedinasan.

Besarnya alokasi anggaran untuk Perguruan Tinggi K/L tidak selaras dengan mandatori Undang-undang Dasar 1945, Pasal. 31 ayat, 2, dimana seharusnya jumlah satuan pendidikan Dasar menjadi prioritas pendanaan secara memadai, dan jauh lebih membutuhkan, tetapi kurang diberi perhatian dari sisi alokasi penganggaran pendidikan. Dan alokasi anggaran pendidikan ini tidak sesuai dengan amanat UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, Pasal 34 (ayat 2). Anggaran pendidikan belum optimal dalam memberikan pelindungan dan jaminan hak terhadap semua anak khususnya jaminan pendidikan dasar berkualitas dan layanan pendidikan tanpa diskriminasi.

Alokasi anggaran cukup besar untuk Perguruan Tinggi K/L, sementara tantangan nyata yang dihadapi Perguruan Tinggi (PT) tersebut berupa keterbatasan akses untuk masyarakat umum, sebaran yang tidak merata, risiko tumpang tindih program dengan Perguruan Tinggi Umum (PTU), rendahnya akreditasi/mutu (hanya 6% PTKL memiliki akreditasi Unggul), dan ketergantungan anggaran pada K/L induk. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari Rp 74,929 triliun, jika anggaran ini digunakan untuk menggratiskan seluruh kebutuhan Siswa SD dan SMP swasta yang tidak mampu, lebih dari cukup.

Kebijakan anggaran PT K/L saat ini masih menghadapi tiga hambatan utama pertama, proporsi anggaran tidak efisien; anggaran besar, mahasiswa sedikit; kedua, ketergantungan administratif pada K/L Induk sehingga kurang fleksibel dan ketiga,  lamban inovasi, dan penjaminan mutu kurang optimal.

Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali agar porsi alokasi anggaran untuk Pendidikan Dasar menjadi prioritas pemerintah, dan kewajiban negara membiayai Pendidikan dasar (UUD Psl. 31 ayat 2 dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yaitu alokasi anggaran untuk pembiayaan Pendidikan Dasar yang berkualitas bagi warga negara. 

Prioritas Anggaran

Memperhatikan isu strategis bidang pendidikan, kebijakan pendidikan Presiden Prabowo  Gibran, dan respon terhadap putusan MK No. 3 Tahun 2025, beberapa hal penting perlu disampaikan. Pertama, layanan pendidikan belum merata, aksesbilitas dan kualitas pendidikan salah satu issu yang urgen harus menjadi prioritas dalam alokasi anggaran pendidikan.

Kebutuhan mendesak 577 trilliun untuk revitalisasi satuan pendidikan, namun yang tersedia hanya 2.5 % yakni 15 Trilliun, (Paparan Kemendikbud, 2024, hal. 22). Dan penyediaan prasarana pendidikan pada 302 kecamatan di Indonesia yang tidak memiliki SMP/MTs, dan 727 kecamatan belum ada SMA/SMK/MA (Kemendagri 2024). Hal ini sejalan dengan program prioritas Presiden Prabowo membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi di setiap kabupaten (100 Sekolah Rakyat & SMA Garuda) dan memperbaiki sekolah-sekolah yang perlu renovasi.  

Kedua,  peningkatan kualitas pendidikan yang merata antara pusat dan daerah, antara sekolah pemerintah dan sekolah swasta. Memperhatikan jumlah sekolah Swasta yang dominan hampir 90 %, dan anggaran pendidikan yang masih terbatas, perlu afirmasi kebijakan dalam membangun kemitraan swasta dengan pemerintah untuk memberikan penguatan pada sekolah swasta sehingga pemerataan dan kualitas pendidikan dapat terwujud. Kemitraan Pemerintah dengan Masyarakat dapat membantu meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam pendidikan (well educated) dan dapat menutupi kekurangan anggaran (Paulo Freire).

Sebab membangun pendidikan berkualitas membutuhkan anggaran yang tinggi.  Ketiga, prioritas alokasi anggaran pendidikan menurut ahli ekonomi pendidikan Henry M. Levin harus difokuskan pada program-program yang paling efektif dan efisien dalam meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, pemenuhan mandatori Undang-undang. Pengelolaan anggaran yang efektif dapat membantu meningkatkan efeisensi dan efektivitas penggunaan anggaran pendidikan secara akuntabel (James W.Guthrie).   

Hasil kolaborasi riset East Ventures, Katadata Insight Center (KIC), dan Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia menunjukkan nilai transaksi sektor Pendidikan terus meningkat. Nilai transasksi sektor pendidikan diproyeksikan tumbuh signifikan hingga tahun (2017  2027). Adapun proyeksi nilai transaksi sector pendidikan bisa mencapai Rp. 1.207 trilliun pada tahun 2027. Pada tahun 2022 nilai transaksi mencapai Rp. 828 trilliun dengan proporsi: PAUD dan SD 21 %, 11 % untuk  SMP dan SMA, 36 %  Perguruan Tinggi, dan 33 % dari lainnya. Tahun 2023 meningkat 8 % (East Ventures-Digital Competitivness Index (EV-DCI, 2023). Artinya,  investasi di sekotor Pendidikan tinggi masih tergolong lebih tinggi.  

Negara perlu hadir dan memberi afirmasi untuk penguatan sektor pendidikan dasar (SD & SMP) wajib belajar 12 tahun sesuai mandatori Undang-undang. Postur dan alokasi anggaran  20 % untuk Pendidikan perlu dikelola secara berkeadilan dan berkelanjutan antar pusat dan daerah, antar Kementerian dan Lembaga.

Dan Kementerian Agama sebagai Kementerian Vertikal dan jumlah Sekolah Keagamaan yang dikelola sangat besar (88 ribu sekolah/satuan pendidikan dan lebih 11 Juta peserta didik) hampir 90 % Swasta, membutuhkan porsi alokasi anggaran yang lebih besar. Alokasi anggaran fungsi pendidikan, sesuai harapan Presiden  dapat membuahkan hasil SDM yang berkualitas untuk menjemput Indonesia Emas 2045. 

 

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Suara Kita Terbaru