Loading
Simply da Flores adalah aktivis sosial dan budaya. (Foto: Istimewa)
Oleh: Simply da Flores
SILA kelima Pancasila dengan lugas menegaskan: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Kalimat itu begitu kuat, begitu ideal, namun terasa makin jauh dari kenyataan. Ironisnya, sebagian rakyat bahkan tidak lagi hafal urutan sila Pancasila—apalagi menghayati maknanya dalam kehidupan bernegara.
Lalu apa sebenarnya makna keadilan sosial dalam sila kelima? Mengapa korupsi yang tak kunjung berhenti justru membuat cita-cita ini terasa seperti mimpi panjang? Dan benarkah masih ada harapan bagi rakyat Indonesia untuk merasakan keadilan dan kesejahteraan yang dijanjikan para pendiri bangsa?
Bhineka Tunggal Ika: Semboyan yang Mulai Pudar
Pada lambang Garuda Pancasila, pita bertulis “Bhineka Tunggal Ika” mengingatkan kita bahwa keberagaman adalah fondasi bangsa. Kita berbeda suku, budaya, agama, profesi, bahkan tingkat kesejahteraan—tetapi tetap satu dalam bingkai NKRI.
Sumpah Pemuda meneguhkan tekad itu: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kesatuan ini dibangun demi meraih kemerdekaan dan kemudian mengisinya dengan upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Namun setelah hampir delapan dekade merdeka, noda kelam masih mewarnai perjalanan bangsa. Salah satunya—dan mungkin yang paling menggerogoti masa depan negara—adalah korupsi. Ia bukan hanya mengancam persatuan, tetapi juga menghancurkan optimisme rakyat terhadap cita-cita Proklamasi. Sampai kapan luka ini dibiarkan menghitam?
Pancasila: Masihkah Menjadi Dasar Negara?
Berbicara tentang sila kelima tidak mungkin dilepaskan dari empat sila sebelumnya: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, serta Permusyawaratan-Keperwakilan yang mengandung hikmat dan kebijaksanaan.
Pertanyaannya:
Dan ketika para wakil rakyat tidak menunjukkan kebijaksanaan yang diharapkan, kepada siapa rakyat harus berharap?
Yang lebih mengkhawatirkan, generasi muda kini makin jauh dari Pancasila. Anak-anak mengenal karakter di media sosial lebih cepat dibanding menghafal butir-butir Pancasila. Fenomena kekerasan, perundungan, hingga dekadensi moral menjadi alarm keras bahwa nilai Pancasila makin kabur dalam kehidupan sehari-hari.
Gurita Korupsi: Potret Ketumpuhan Penegakan Hukum
Budaya korupsi yang terus merajalela adalah cermin dari lemahnya penegakan hukum. Jika hukum berwibawa, korupsi seharusnya menurun. Jika penegak hukum bekerja maksimal, keadilan harusnya terasa lebih dekat.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Korupsi tumbuh seperti gurita—mencengkeram dari pusat hingga daerah. Dampaknya sangat nyata: anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru hilang di tengah jalan. Rakyat kecil menanggung akibatnya, sementara harapan pada hukum perlahan memudar.Rakyat akhirnya bertanya-tanya: Masihkah Pancasila menjadi dasar negara? Atau hanya menjadi teks upacara setiap 1 Juni?
Keadilan dan Kesejahteraan Sosial yang Kian Jauh
Kondisi sosial ekonomi menegaskan betapa beratnya rakyat mengejar keadilan sosial.
Pertanyaan sederhana namun menyentuh: Bagaimana mungkin keluarga miskin yang kesulitan makan justru dituntut membayar pajak?
Ketika kita bicara generasi muda sebagai pewaris bangsa, bagaimana anak dari keluarga miskin yang kekurangan gizi bisa belajar dengan optimal? Bagaimana mereka mendapatkan pekerjaan layak jika kesempatan kerja justru makin sempit?
Lingkar persoalan dari nasional hingga pelosok desa begitu rumit dan saling berkait. Dalam situasi seperti ini, keadilan sosial yang diamanatkan sila kelima terasa semakin jauh dari genggaman.
Namun rakyat Indonesia selalu punya harapan. Doa mereka tidak pernah padam. Mereka menanti dan percaya bahwa suatu saat, Pancasila bukan hanya dihafal—tetapi benar-benar dihidupi.
Dimana keadilan sosial dalam sila kelima? Dan kemana Pancasila saat rakyat mencari keadilan?
Semoga kita menemukannya kembali!
Penulis adalah Aktivis Sosial dan Budaya, tinggal di Jakarta.