Selasa, 30 Desember 2025

Menata Wajah Industri Kopi Nasional


 Menata Wajah Industri Kopi Nasional Ambara Purusottama adalah Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya dan Konsultan Independen. (Foto: Istimewa)

Oleh: Ambara Purusottama

KOMODITAS kopi telah sekian lama memberikan manfaat bagi bangsa ini, baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Ditilik dari sisi ekonomi, komoditas kopi merupakan salah satu komoditas unggulan yang menjadi prioritas pemerintah lainnya seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan lainnya (Ditjenbun, 2014).

Komoditas ini pun mampu berkontribusi signifikan bagi lingkungan sekitar, tidak hanya industri tetapi juga petani lokal setempat, dan tidak sedikit yang menyandarkan hidupnya dari bertani maupun berjualan kopi. Kini, meminum kopi telah menjadi budaya kaum urban yang rela menggelontorkan uangnya demi mendapatkan secangkir kopi.

Indonesia saat ini menempati urutan keempat sebagai produsen kopi terbesar dunia (International Coffee Organization, 2017) bersama dengan Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Karakteristik kopi yang hanya dapat tumbuh baik di daerah tertentu yang dikenal dengan istilah Sabuk Kopi atau Coffee Belt yang terletak di dataran tinggi dan khatulistiwa.

Geliat kopi internasional terlihat dari terus meningkatnya permintaan dari waktu ke waktu. Data menyebutkan kopi menjadi salah satu industri komoditas yang tidak lekang oleh jaman dan terus mengalami tren peningkatan. Bahkan, kopi tidak terusik oleh keadaan ekonomi dunia yang bergejolak.

Grafik kopi

Sumber: International Coffee Organization

Tantangan utama yang harus dihadapi Indonesia sebagai negara produsen kopi adalah kehadiran Vietnam yang mampu tampil merajalela beberapa tahun belakangan. Sebagai informasi, sebelumnya industri ini hanya dikomandoi tiga negara besar, yakni Brasil, Kolombia, dan Indonesia. Akan tetapi, melihat peluang pasar yang sangat besar, Vietnam mampu menggenjot produksinya hingga berkali-kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.

Situasi ini seharusnya menjadi cambuk bagi Indonesia, tetapi melihat data histori, industri ini seakan berjalan ditempat. Terus menurunnya harga bahkan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Kondisi ini semakin diperparah dengan fenomona perubahan iklim yang menekan produktivitas tanaman.

Produktivitas hasil perkebunan kopi nasional saat ini masih berada pada rata 600 kg per-hektar (Ditjenbun, 2014). Produktivitas terendah masih terasa di petani lokal dengan rerata dibawah 600 kg per-hektar. Ironisnya 95 persen kontribusi produksi nasional berasal dari petani lokal. Artinya, produksi kopi nasional bertumpu pada petani lokal.

Penurunan harga kopi membuat petani lokal terus memutar otak dengan melakukan diversifikasi beberapa tanaman pertanian di kebun yang mereka miliki. Tidak sedikit yang mengubah haluan untuk berkebun komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Jika situasi ini tidak dibenahi maka peta industri kopi akan menempatkan Indonesia ke situasi yang lebih buruk dibandingkan saat ini.

Meskipun kopi ditempatkan sebagai komoditas strategis nasional, sayangnya program tersebut belum terasa hingga petani. Keluhan demi keluhan terus terlontar dari mulut petani karena prospek yang kian loyo. Konsekuensi logis dari penurunan produksi ditutupi dengan melakukan diversifikasi tanaman, mengubah tanaman, sampai-sampai berpindah profesi.

Bagi generasi muda di daerah penghasil kopi, menjadi petani kopi dianggap kurang menarik mengingat kesejahteraan tidak kunjung membaik. Mereka lebih senang berpindah ke daerah urban untuk menjadi pekerja di industri lain. Akibatnya, lahan terbengkalai dan pada beberapa kasus dijual sebagai modal untuk pindah profesi.

Persoalan lain yang timbul adalah panjangnya rantai pasok yang berpengaruh terhadap pendapatan petani. Semakin panjang rantai pasok maka pendapatan petani akan semakin rendah. Panjangnya rantai pasok kopi Indonesia juga ditenggarai menjadi salah satu yang terpanjang dibandingkan dengan negara-negara produsen lainnya.

Maka pengurangan panjangnya rantai pasok menjadi salah satu tugas pemerintah - sebagaimana belum terselesaikan hingga kini. Sulitnya sistem logistik serta kurangnya dukungan infrastrukur meminimalkan kesempatan bagi masyarakat untuk terjun pada bisnis logistik kopi nasional. Implikasinya, rantai pasok menjadi semakin panjang. Selain itu, ketatnya regulasi di hulu membuat pihak swasta hanya bermain di hilir seperti yang terjadi saat ini.

Potensi kopi Indonesia di pasar global dan nasional masih sangat besar. Merek dagang “Sumatra Coffee” saat ini masih cukup laku di kalangan masyarakat. Kopi Sumatra dengan cita rasanya yang unik mendorong harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi daerah lain.

International Coffee Organization (2017) dalam studi terkini menyebutkan adanya peningkatan konsumsi domestik di negara-negara produsen kopi. Indonesia menjadi yang terbesar diantara negara-negara penghasil kopi lainnya. Bahkan ada sumber yang menyebutkan transaksi kopi melalui e-commerce meningkat tiga kali lipat pada tahun 2017 dibandingkan tahun sebelumnya.

Akhir kata, kompleksitas permasalahan di industri kopi nasional perlu menjadi perhatian serius pemerintah untuk segera dibenahi. Pemotongan rantai pasok menjadi tugas pokok pemerintah agar industri ini kembali bergeliat. Untuk itu diperlukan keterlibatan pihak lain yang lebih masif.

Pemerintah perlu mendorong keterlibatan swasta guna mengatasi celah logistik kopi di Indonesia. Pemerintah tidak perlu memaksakan harus menggunakan sumber daya yang dimiliki mengingat masih terdapat faktor keterbatasan. Win-win solution melalui regulasi dan kebijakan, baik relaksasi maupun keharusan, akan mempercepat transformasi industri kopi nasional.

Otoritas seyogianya berperan sebagai pemegang tongkat komando tanpa harus terjun langsung di lapangan.

Penulis adalah Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya dan Konsultan Independen

Editor : Patricia Aurelia

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Suara Kita Terbaru