Loading
Ibu mertua menyiapkan hidangan rumit untuk menantu laki-laki mereka setiap hari selama 40 hari yang jarang diulang (Kredit: Anupama Ramakrishnan)
DI INDIA, pesta pernikahan megah sudah menjadi hal biasa. Namun, di kota kecil Thalassery, Kerala, ada satu tradisi yang membuat pesta itu naik kelas jadi legenda: Puyyappla Perukkal, yang secara harfiah berarti “mengasuh menantu”.
Selama 40 hari penuh setelah pernikahan, sang ibu mertua dan keluarga besar menyiapkan hingga 100 hidangan berbeda untuk memanjakan sang pengantin pria. Tak ada menu yang sama dua kali, dan semua dibuat dari resep turun-temurun yang telah bertahan selama lebih dari tujuh abad.
Asal Usul dari Kota Rempah
Thalassery, kota pesisir yang pernah menjadi pusat perdagangan rempah dunia, adalah tempat kelahiran tradisi luar biasa ini. Dari kapulaga hingga cengkeh, setiap aroma di dapur Thalassery menyimpan jejak sejarah panjang: pengaruh Arab, Persia, Belanda, Inggris, dan India berpadu di satu meja makan.
Namun di antara semua kebudayaan itu, komunitas Muslim Mappila menonjol dengan satu warisan kuliner yang tak lekang waktu: Puyyappla Perukkal. Konon, tradisi ini terinspirasi oleh sistem matrilineal kuno Marumakkathayam, di mana harta diwariskan melalui garis perempuan. Maka, pesta ini menjadi bentuk penghormatan ibu mertua kepada menantu pria—tanda bahwa ia kini resmi menjadi bagian keluarga.
Ritual yang Menghangatkan dan Mengenyangkan
Sehari setelah akad nikah, ritual dimulai sejak fajar. Menurut Rubeena Kalathiyath, juru masak di restoran heritage The Heritage 1866, menu pertama biasanya berisi roti panggang ghee, pazham vatti (kue pisang goreng), dan telur rebus.
Sarapan lanjut dengan aneka roti tepung beras khas Kerala seperti pathiri, ari rotti, dan ney pathiri yang disajikan dengan kari kambing beraroma tajam.
Saat malam tiba, giliran kudapan manis dan gurih tampil menggoda: vadas lentil renyah, unnakaya (pisang isi kelapa dan gula), serta petti pathal (roti isi ayam).
Sementara makan siang dan makan malam menjadi ajang unjuk rasa keahlian dapur: aleesa (semur gandum dan ayam bersantan), muttamala (untaian kuning telur manis), kakka roti, moodi pathiri, hingga nasi ghee dan biryani kambing dilaporkan BBC.
Antara Cinta, Resep, dan Ritualitas
Bagi masyarakat Mappila, memasak untuk menantu bukan sekadar tugas dapur, tetapi ritual cinta dan penghormatan. Ada aturan tak tertulis yang mempererat hubungan dua keluarga—misalnya meen panam, “uang ikan” yang harus diberikan menantu jika ingin makan ikan, atau chaaya paisa, “uang teh” untuk setiap teko yang diseduh.
Praktik ini sederhana, tapi sarat makna: menjaga adab, rasa hormat, dan keseimbangan antara memberi dan menerima.
Dulu, jika menantu merasa masakan tak sesuai selera, ia bisa saja “mogok makan” dan keluar rumah sebagai bentuk protes—tradisi lucu yang kini tinggal cerita nostalgia.
Dari Rumah ke Restoran
Kini, pesta 40 hari itu tak selalu dilakukan penuh. Beberapa keluarga memilih versi ringkas: 40 hidangan disajikan dalam satu kali makan. Meski begitu, semangatnya tetap sama—merayakan kehangatan keluarga dan kelimpahan rezeki.
Bagi wisatawan, tradisi ini bisa “dicicipi” di The Heritage 1866 di Thalassery, atau restoran Mappila ternama seperti Paragon di Kerala, Moplah’s di Bengaluru, dan Malabar Junction di London.
Bahkan chef ternama seperti Abida Rasheed dan Ummi Abdulla turut melestarikan warisan kuliner ini lewat buku resep dan kelas memasak.
Lebih dari Sekadar Makan
Empat puluh hari kemudian, ketika piring terakhir dibersihkan, yang tersisa bukan hanya rasa kenyang, tapi juga rasa keterikatan.Puyyappla Perukkal bukan sekadar pesta makanan—ia adalah simbol kasih sayang, penghormatan, dan keindahan tradisi yang terus hidup dari generasi ke generasi di tanah rempah Kerala.