Selasa, 30 Desember 2025

Optimisme Industri Meningkat, PMI Manufaktur RI Naik Berkat Kebijakan Dagang dan Relaksasi Impor


 Optimisme Industri Meningkat, PMI Manufaktur RI Naik Berkat Kebijakan Dagang dan Relaksasi Impor Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif. (bbt.kemenperin.go.id)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Sektor manufaktur Indonesia kembali menunjukkan tanda pemulihan. Setelah empat bulan berturut-turut mengalami penurunan, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur nasional pada Juli 2025 naik ke level 49,2, menguat 2,3 poin dari bulan sebelumnya yang berada di angka 46,9.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif, menjelaskan bahwa kenaikan ini tak lepas dari berbagai kebijakan strategis pemerintah, mulai dari kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat, perkembangan perundingan IEU-CEPA, hingga revisi aturan relaksasi impor.

“Beberapa dinamika kebijakan dalam beberapa minggu terakhir berhasil meningkatkan optimisme pelaku industri dalam negeri,” kata Febri di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Daya Saing Meningkat Berkat Diplomasi Dagang

Salah satu pendorong utama kenaikan PMI adalah kesepakatan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat. Febri menyebutkan bahwa hasil negosiasi perdagangan ini memberikan tarif yang lebih kompetitif dibandingkan negara-negara pesaing.

“Keberhasilan Presiden Prabowo dalam bernegosiasi membuat produk Indonesia punya keunggulan tarif di pasar AS, yang menjadi modal penting bagi peningkatan daya saing industri nasional,” ujar Febri.

Perdagangan dengan Eropa Semakin Terbuka

Selain kesepakatan dengan AS, pelaku industri juga menaruh harapan besar pada kemajuan perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Kesepakatan ini dinilai dapat membuka hambatan ekspor dan memperluas akses pasar Indonesia di kawasan Eropa.

“IEU-CEPA sangat dinanti pelaku industri karena dapat memperluas jangkauan ekspor kita ke Eropa secara lebih kompetitif,” tambahnya.

Revisi Aturan Impor Dorong Kepercayaan Industri

Langkah pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 juga menjadi sinyal positif bagi dunia usaha. Febri menilai kebijakan ini membantu menumbuhkan kepercayaan pelaku industri, terutama di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mendapat perlindungan lebih.

Namun, ia mengingatkan bahwa sektor industri lain juga menanti kebijakan serupa yang memberikan rasa keadilan dan kepastian dalam persaingan pasar.

“Dunia usaha berharap ada keberlanjutan regulasi yang melindungi sektor-sektor lainnya,” ujarnya.

Tantangan dan Peluang di Tengah Ketidakpastian Global

Meski tren PMI membaik, sektor manufaktur nasional masih menghadapi berbagai tekanan seperti penurunan permintaan ekspor, berkurangnya tenaga kerja, dan naiknya biaya produksi akibat konflik geopolitik serta pelemahan nilai tukar rupiah.

Febri menyampaikan bahwa pelaku industri juga menanti kepastian dari hasil lanjutan negosiasi dagang dengan AS, terutama terkait isu non-tariff barriers (NTB) dan non-tariff measures (NTM).

Salah satu isu yang mencuat adalah pemberian fasilitas bebas bea masuk untuk produk bermerek Amerika namun diproduksi di luar negeri, seperti China atau India.

“Menurut kami, hanya produk yang benar-benar dibuat di AS yang layak mendapat fasilitas bebas bea masuk,” tegas Febri.

TKDN Jadi Pendorong Investasi Domestik

Selain itu, Febri juga menyoroti pentingnya keberlanjutan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), khususnya untuk sektor Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT). Ia menilai bahwa kebijakan TKDN mampu mendorong investasi industri dalam negeri, terutama jika diselaraskan dengan permintaan dari pemerintah.

“Ketika ada permintaan yang konsisten dan kebijakan TKDN yang berpihak, pengusaha akan lebih percaya diri untuk membangun pabrik di Indonesia,” ucapnya.

Kemenperin Gunakan IKI untuk Rancang Kebijakan

Terkait pemanfaatan data PMI, Febri menegaskan bahwa Kemenperin lebih mengandalkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) dalam merumuskan kebijakan. Ia menyebutkan bahwa cakupan survei IKI jauh lebih luas dibandingkan PMI yang dirilis oleh S&P Global.

“Jumlah perusahaan dalam survei IKI rata-rata mencapai 3.100, sedangkan PMI hanya sekitar 500 perusahaan. Kami menghargai PMI sebagai referensi umum, tapi bukan sebagai dasar pengambilan keputusan,” pungkasnya dikutip Antara.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Ekonomi Terbaru