Loading
Suasana ballroom di SAGKI 2025 Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta Utara. (Foto :Tim Pubdok SAGKI 2025)
GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Forum lima-tahunan SAGKI 2025 kembali menjadi titik temu penting bagi Gereja Katolik Indonesia dan bangsa secara lebih luas. Di hari ketiga, sesi ketujuh yang bertema “Berjalan Bersama dalam Perbedaan” menghadirkan kumpulan tokoh lintas agama yang membagikan kisah, spiritualitas, dan komitmen mereka dalam membangun kebersamaan di tengah keberagaman iman.
Dipandu dengan hangat oleh artis Olga Lydia, sesi ini menghadirkan narasumber dari berbagai tradisi iman:
Ruang Perjumpaan yang Mencairkan Sekat
Prof. Rumadi Ahmad menuturkan pengalamannya tumbuh di lingkungan pesantren tanpa interaksi dengan pemeluk agama lain, hingga kemudian melalui perjumpaan – termasuk dengan figur seperti Gus Dur – ia mulai menyadari bahwa keragaman bukan ancaman melainkan jendela untuk melihat dunia. “Beragama yang terlalu serius kadang membuat orang tidak bisa enjoy,” ujarnya, menegaskan pentingnya humor dan keterbukaan dalam hidup beriman.
Cinta Kasih yang Menembus Batas
Prof. Philip Kuntjoro Widjaja mengisahkan bagaimana pengalaman doanya di Basilika Santo Petrus, Vatikan, diiringi kesembuhan istrinya, menjadi titik yang memperkuat keyakinannya bahwa kasih Tuhan bersifat universal. “Tuhan menolong dari pintu mana saja. Karena itu kita tidak perlu memandang yang lain sebagai sesuatu yang asing,” ujarnya, sambil menegaskan bahwa komunikasi antar-iman adalah dasar bagi pengertian bersama.
Merayakan Perbedaan sebagai Anugerah
Pdt. Jacky Manuputty secara lugas menyatakan bahwa gereja tidak usah berusaha menjadi seragam. “Kami gagal jadi seperti buah apel yang seragam… akhirnya kami sepakat: ekumene in action — berjalan dan merayakan perbedaan sebagai anugerah,” ujarnya. “Gereja mengenal Kristus ketika ia mau berbagi, bukan ketika sibuk mendebat siapa yang paling benar.”
Manusia Baik Bukan karena Agamanya
Budi S. Tanuwibowo membawa perspektif unik dari tradisi Khonghucu: “Saya sejak kecil umat Protestan, kemudian Katolik, lalu belajar Hindu, dan akhirnya berada di Khonghucu,” katanya, menegaskan bahwa kebaikan manusia tak ditentukan oleh label agama, melainkan oleh budi pekerti. Ia menyerukan agar semua tradisi agama menjadi teladan moral dalam bingkai kebangsaan.
Suara dari Tanah Leluhur
Engkus Ruswana menyuarakan bahwa keberagamaan lokal — termasuk kepercayaan leluhur — memiliki hak yang setara dalam konteks bangsa. Ia menyampaikan pengalaman pahit diskriminasi yang dialami komunitasnya, namun juga menyematkan optimisme: “Kami tidak ingin lebih, kami hanya ingin setara.” Nilai manunggaling kawula gusti dan mamayu hayuning bawana menjadi pesan universal akan harmoni manusia-alam-Tuhan.
Tri Hita Karana dan Jalan Kebangsaan
Menutup sesi, Mayjen TNI (Purn.) Wisnu Bawa Tenaya mengajak para pemuka agama dan warga bangsa untuk menjadi jembatan silaturahmi. Dengan merujuk prinsip Tri Hita Karana — harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam — ia mengingatkan bahwa kebangsaan dan keberagaman tidak bisa dipisahkan: “Kita ini sama-sama ciptaan Tuhan. Sadar sebagai manusia, sadar beragama, dan sadar sebagai warga negara,”dikutip dari laman mirifica.net
Menemukan Cahaya Bersama
Sesi lintas iman ini menjadi bukti nyata bahwa spirit sinodal tidak hanya milik satu tradisi saja — melainkan sebuah panggilan bersama: berjalan bersama dalam keberagaman, saling mendengar, saling menghargai, dan menggenggam harapan yang satu untuk kemanusiaan yang lebih baik. Dari kisah Gus Dur hingga doa di Vatikan, hingga kearifan leluhur Nusantara — semuanya mengajak kita untuk mengambil langkah bersama menuju perdamaian sejati.