Loading
Aktivis sosial dan budaya, Simply da Flores . (Foto: Istimewa)
GLOBAL HARMONY | VOICES OF PEACE
Oleh: Simply da Flores
DALAM lintasan sejarah panjang umat manusia, dua kata yang tampak indah di telinga — keadilan dan perdamaian — ternyata tak selalu seindah kenyataannya.Keduanya menjadi cita-cita bersama, namun wajahnya kerap berbeda di setiap zaman dan tempat. Ada keadilan yang berakar dari adat dan kebudayaan lokal, dan ada pula yang bersumber dari hukum internasional serta kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga:
Menyibak Hakekat Keadilan dan PerdamaianLalu, pertanyaannya: keadilan dan perdamaian yang sejati itu milik siapa — dan untuk siapa?
Jejak Kolonial dan Wajah Modernisme
Baca juga:
Menyibak Hakekat Keadilan dan PerdamaianModernisme lahir dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia Barat menjadi pionirnya — menciptakan mesin uap, kapal, dan berbagai inovasi yang mengubah arah peradaban. Namun di balik kemegahan itu, ada semangat lain yang ikut berlayar: keinginan menguasai dunia.
Eropa menjelajah Asia, Afrika, hingga Amerika dengan tiga motivasi besar yang dikenal dengan 3G: Gold, Glory, and Gospel — harta, kejayaan, dan agama.Di manakah letak keadilan dalam petualangan ini?
Baca juga:
Ketika Kemanusiaan BersuaraKetika bangsa-bangsa lokal dengan kearifan, spiritualitas, dan peradabannya yang kaya dianggap tertinggal hanya karena tak memiliki teknologi serupa?
Modernisasi yang mestinya membawa pencerahan justru membuka babak baru penindasan. Kolonialisme menjadi dalih untuk “memajukan” bangsa lain, padahal banyak di antaranya justru kehilangan kemerdekaan dan martabat.
Universalitas yang Meminggirkan Lokalitas
Kolonisasi bukan hanya tentang perampasan tanah dan sumber daya alam, tetapi juga penguasaan pikiran.Nilai-nilai lokal yang selama berabad-abad menjadi panduan hidup — dicap kuno, tidak rasional, bahkan tidak manusiawi.Sebaliknya, nilai Barat diangkat sebagai standar universal kemajuan dan peradaban.
Keadilan dan perdamaian pun menjadi konsep yang didefinisikan sepihak. Sementara bangsa-bangsa yang dijajah terus dibentuk untuk tunduk, memberi sumber daya, dan menghidupi kemakmuran pihak lain.
Hari ini, bentuknya mungkin telah berubah. Tapi substansinya? Tetap sama. Kolonialisme kini bertransformasi menjadi neo-kolonialisme — hadir dalam wajah kapitalisme global, sistem ekonomi timpang, dan dominasi digital. Pertanyaannya tetap menggema: Apakah dunia benar-benar adil dan damai, atau hanya berubah dalam bentuk yang lebih halus?
Mengadili Sejarah atau Menyembuhkan Luka Lama?
PBB berdiri dengan cita-cita luhur: menciptakan perdamaian dan menegakkan hak asasi manusia. Namun di balik meja-meja diplomasi itu, masih ada ketimpangan besar antara negara maju dan negara berkembang.
Negara-negara kaya — yang dahulu adalah penjajah — kini memegang kendali atas ekonomi, teknologi, dan sistem pertahanan dunia.Sedangkan negara berkembang sering kali tetap menjadi penyedia bahan mentah, tenaga murah, dan pasar konsumsi.Keadilan global menjadi wacana yang sering disuarakan, tapi jarang diwujudkan. Sementara itu, isu kemiskinan, konflik, dan ketidaksetaraan masih merayap di balik jargon “perdamaian dunia”.
Apakah dunia perlu “mengadili sejarah”?Ataukah kita justru perlu menyembuhkan luka sejarah — dengan mengakui ketidakadilan masa lalu dan menumbuhkan solidaritas baru antarbangsa?
Harapan Baru: Membangun Perdamaian yang Setara
Keadilan dan perdamaian sejati tak akan lahir dari kekuasaan, melainkan dari kesetaraan.Dunia membutuhkan wajah perdamaian yang baru — yang lahir dari empati, bukan dominasi.Dari dialog lintas budaya, bukan doktrin ideologis.Dari penghargaan terhadap kearifan lokal, bukan penyeragaman global.
Selama keadilan masih berpihak dan perdamaian masih berjarak, dunia akan terus menggugat dirinya sendiri.Namun selama masih ada suara yang mau menyuarakan kebenaran — dari kampung, dari lembah, dari pulau-pulau kecil — harapan itu belum padam.
“Perdamaian bukanlah diam tanpa konflik, tetapi keberanian untuk menegakkan kebenaran tanpa menindas yang lemah.”
Penulis: Aktivis Sosial dan Budaya. Tinggal di Jakarta