Loading
Arsip - Pakar Konversi Energi dari Fakultas Teknik dan Dirgantara ITB Tri Yuswidjajanto Zaenuri (kedua kiri) bersama Managing Director PT Pana Oil Indonesia Raymond Widjaja (kiri) , Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono (ketiga kiri), Senior Business Development Manager PT Pana Oil Indonesia Dian Wahyu Bawono, Technical Support of Lubricant Manager Pana Oil Sanusi Jafar, Director B2B PT Pana Oil Indonesia Effendy Liemuel (kanan) saat FGD tentang Biodiesel B35. ANTARA/HO-PanaOIL
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Langkah pemerintah mewajibkan penggunaan bahan bakar minyak dengan campuran etanol 10 persen atau E10 dinilai sebagai kebijakan strategis untuk mempercepat transisi menuju energi hijau di Indonesia.
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Tri Yuswidjajanto, menilai kebijakan yang digagas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia itu menunjukkan arah yang jelas dalam peta jalan energi berkelanjutan nasional.
“Kebijakan pencampuran etanol dalam BBM ini memperlihatkan bahwa Kementerian ESDM sudah berada di jalur yang benar menuju energi hijau. Negara-negara maju sudah lama memanfaatkan etanol untuk menekan emisi karbon,” jelas Tri di Jakarta, Minggu (12/10/2025).
Menurutnya, keputusan pemerintah ini bukan hanya visioner, tetapi juga realistis karena mempertimbangkan potensi bahan baku lokal seperti tebu, singkong, dan jagung yang melimpah di Indonesia.
“Etanol dari sumber-sumber lokal tersebut tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga memperkuat rantai pasok energi domestik. Selama kadar etanolnya diatur dengan tepat, kendaraan tidak akan mengalami masalah teknis berarti,” tambahnya.
Baca juga:
Kebijakan E10: Langkah Nyata Indonesia Menuju Energi Hijau dan Kemandirian Energi NasionalSelain berkontribusi pada penurunan emisi karbon, implementasi kebijakan E10 juga dapat menjadi fondasi kemandirian energi nasional sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Tri menuturkan, selama ini Indonesia masih bergantung pada impor BBM untuk memenuhi lebih dari 45 persen kebutuhan energi nasional. Pemanfaatan etanol secara masif diharapkan mampu menekan angka tersebut.
“Industri bioetanol dalam negeri punya potensi besar untuk membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan nilai tambah bagi produk pertanian nasional. Ini langkah strategis membangun energi berdaulat berbasis sumber daya dalam negeri,” ujarnya dilansir Antara.
Ia menambahkan, hal penting yang perlu dijaga pemerintah adalah ketersediaan bahan baku dan kelancaran distribusi, agar program E10 dapat berjalan berkelanjutan dan memberi dampak luas.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui rencana penerapan kebijakan mandatori E10 sebagai bagian dari komitmen nasional menurunkan emisi karbon sekaligus mengurangi ketergantungan impor BBM.
“Kami sudah rapat dengan Presiden. Beliau menyetujui rencana mandatori 10 persen etanol,” ujar Bahlil di Jakarta, Selasa (7/10).
Kebijakan E10 menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia mulai menapaki babak baru menuju ekonomi hijau, dengan memadukan inovasi energi terbarukan dan potensi pertanian lokal untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.