Selasa, 30 Desember 2025

Kemenhut Dorong Aturan Pasar Karbon yang Adil dan Inklusif di COP30


 Kemenhut Dorong Aturan Pasar Karbon yang Adil dan Inklusif di COP30 Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati (tampak dalam layar) memberikan pemaparan terkait pasar karbon dalam Sidang CMA7 COP30 di Belém, Brasil. (Antara/HO/Kementerian Kehutanan)

JAKARTA, ARAHKITA.COM — Pemerintah Indonesia menegaskan posisi strategisnya dalam perundingan iklim global. Melalui Kementerian Kehutanan, Indonesia mendorong terciptanya mekanisme pasar karbon internasional yang adil, inklusif, dan berbasis sains dalam pembahasan Pasal 6.4 Perjanjian Paris pada Sidang CMA7 COP30 di Belém, Brasil.

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, menekankan bahwa aturan pasar karbon tidak boleh menghambat kontribusi negara berkembang, terutama bagi sektor solusi berbasis alam (nature-based solutions) seperti kehutanan, lahan gambut, dan mangrove.

“Kami mendukung integritas lingkungan, tetapi aturan yang terlalu kaku—seperti penurunan baseline otomatis atau standar kebocoran global—justru dapat mematikan inisiatif berbasis alam yang menjadi tulang punggung mitigasi perubahan iklim,” ujar Haruni dalam keterangannya, Minggu (16/11/2025).

Ia menegaskan bahwa mekanisme Pasal 6.4 harus menjaga keseimbangan antara integritas iklim dan keadilan akses, sehingga seluruh negara dapat berpartisipasi tanpa beban teknis maupun biaya yang tidak proporsional.

Masukan Kunci Indonesia dalam Sidang COP30

Dalam pembahasan Agenda Item 15(b): Laporan Supervisory Body Mekanisme Pasal 6.4, Indonesia menyampaikan sejumlah poin penting yang turut didukung oleh Kosta Rika, Brasil, Norwegia, dan Inggris. Adapun masukan tersebut meliputi:

1. Revisi Mekanisme Penyesuaian Baseline

Indonesia menilai penurunan baseline otomatis sebesar 1% per tahun dapat membuat proyek:

  • REDD+
  • restorasi hutan
  • karbon biru (blue carbon)

menjadi tidak layak secara finansial. Indonesia meminta pendekatan berbasis sains yang lebih realistis sesuai kondisi negara berkembang.

2. Penilaian Kebocoran dan Risiko

Indonesia menekankan bahwa standar kebocoran global harus mempertimbangkan karakter unik ekosistem tropis dan tidak menghambat proyek berbasis alam. Aturan pasca-krediting dan Risk Tools diminta tidak menghambat operasional kegiatan kehutanan dan mangrove.

3. Pelibatan Bermakna Masyarakat Adat

Indonesia mendorong proses konsultasi yang lebih panjang dan inklusif, terutama bagi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLCs). Transparansi juga didorong melalui pembukaan rapat Methodological Expert Panel (MEP).

4. Penguatan Pendanaan dan Transfer Teknologi

Indonesia menegaskan bahwa negara berkembang memerlukan dukungan nyata melalui:

  • pendanaan kapasitas,
  • transfer teknologi,
  • dan fasilitasi implementasi di lapangan,

agar dapat berpartisipasi efektif dalam mekanisme pasar karbon global.

Penguatan Solusi Berbasis Alam dan Karbon Biru

Sebagai negara megadiversitas, Indonesia menempatkan mangrove, gambut, dan hutan tropis sebagai pilar utama mitigasi dalam target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Dalam agenda ini, sektor kehutanan ditargetkan menjadi penyerap emisi bersih pada 2030 dikutip Antara.

Pembahasan rekomendasi mekanisme Pasal 6.4 masih berlanjut di COP30. Indonesia menegaskan akan terus memperjuangkan aturan yang seimbang, dapat diterapkan, dan memastikan keadilan iklim global, terutama bagi negara berkembang yang selama ini berkontribusi besar dalam menjaga ekosistem dunia.

“Perjuangan ini harus terus disuarakan. Indonesia akan memperjuangkan aturan yang menjamin keadilan bagi semua pihak,” tegas Haruni.

 

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Green Economy Insight Terbaru