Loading
Pemandangan udara pembukaan hutan dan pembangunan perkebunan tebu PT Global Papua Abadi (GPA) di Desa Senayu, Distruk Sermayam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan pada 18 September 2025. (Ulet Ifansasti/Greenpeace)
BELEM, ARAHKITA.COM — Kritik keras terhadap Belém 4x Pledge kembali mengemuka. Lebih dari 1.900 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Climate Action Network (CAN), termasuk Greenpeace, menilai janji pelipatgandaan produksi biofuel empat kali lipat dalam 10 tahun ke depan justru membuka jalan baru bagi ekspansi industri ekstraktif atas nama energi hijau.
Menurut Kepala Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace, Syahrul Fitra, peningkatan produksi biofuel tanpa batas hanya akan mempercepat hilangnya wilayah adat, mengancam keselamatan Masyarakat Adat, dan memperbesar risiko kebakaran hutan maupun lahan gambut.
“Bahkan tanpa Belém 4x sekalipun, pemerintah Indonesia sudah berencana mengorbankan hutan dan Masyarakat Adat demi proyek biodiesel dan bioetanol. Ini bukan solusi iklim, tapi solusi palsu,” ujarnya.
Ekspansi Bioetanol dan Biodiesel yang Menggerus Hutan Papua
Salah satu proyek yang menjadi sorotan berada di Merauke, Papua Selatan. Proyek bioetanol berbasis tebu yang masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) telah membuka 4.912 hektare hutan adat Suku Yei hingga Agustus 2025 (data Yayasan Pusaka Bentala Rakyat).
Baca juga:
Indonesia dan Ikrar Belém 4x: Peringatan Keras saat Hutan dan Masyarakat Adat Terus TerdesakRencana pemerintah jauh lebih besar:
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, menyebut pembukaan bentang alam itu berpotensi melepaskan 162 juta ton CO₂ ke atmosfer—angka yang berbanding terbalik dengan komitmen iklim Indonesia.
Baca juga:
PLN Indonesia Power Tanam 82 Ribu Pohon di Seluruh Indonesia Lewat Program Green Action 2025Kalimantan: Ekspansi Kapet dan Ancaman Emisi 221 Juta Ton CO₂
Di Kalimantan, rencana pembukaan lahan 560 ribu hektare pada kawasan Kapet dinilai membawa risiko iklim yang tak kalah besar. Greenpeace memperkirakan emisi dari proyek ini dapat mencapai 221 juta ton CO₂, setara pelepasan 48 juta mobil dalam setahun.
“Jika pembukaan lahan besar-besaran terus dilakukan, ambisi transisi energi yang disuarakan pemerintah di COP30 hanya akan menjadi jargon tanpa makna,” tegas Refki.
Greenwashing dan Risiko Ketidakadilan Energi
Kritik juga datang dari Oil Change International. Senior Partnerships and Outreach Officer Asia, Hikmat Soeratanuwijaya, mempertanyakan penggunaan narasi keberlanjutan yang dipakai untuk membenarkan produksi bahan bakar fosil berkelanjutan.
“Transisi energi berkeadilan harus menempatkan perlindungan hutan dan hak Masyarakat Adat sebagai prioritas. Ambisi biofuel yang justru memperluas deforestasi bertolak belakang dengan itu,” kata Hikmat.
Jika rencana ini berjalan, dampaknya tak hanya berupa hilangnya hutan, tetapi juga kerusakan ekosistem, perubahan bentang alam, hingga risiko tenggelamnya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pulau Kecil Terancam Hilang
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Mufti Fathul Barri, mengingatkan bahwa pulau-pulau kecil memiliki daya tampung dan daya dukung yang jauh lebih rentan dibanding pulau besar. Dengan tekanan industri dan krisis iklim yang terus meningkat, ancaman kehilangan wilayah pesisir menjadi semakin nyata.
“Menenggelamkan pesisir dan pulau-pulau kecil sama artinya dengan menghilangkan kehidupan yang ada di dalamnya,” ujarnya.
Komitmen Iklim Indonesia: Ambisi Besar, Risiko Besar
Dalam forum COP30, pemerintah menyampaikan target penurunan emisi dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) sebesar:
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia akan meninggalkan energi fosil dan memperluas pembangkit energi terbarukan mulai 2026. Namun, Greenpeace menilai ambisi tersebut sulit tercapai bila kebijakan di lapangan masih membuka ruang besar untuk deforestasi demi biofuel.
Desakan untuk Regulasi Perlindungan Hutan
Direktur Auriga Nusantara, Timer Manurung, menegaskan bahwa transisi energi hanya akan berhasil bila negara memastikan seluruh hutan alam tersisa berada dalam perlindungan penuh.
“Agar gagasan-gagasan transisi energi tidak berubah menjadi musang berbulu domba, pemerintah harus segera menerbitkan regulasi perlindungan hutan alam,” tutupnya.