Loading
Jutaan warga Amerika Serikat turun ke jalan dalam aksi protes besar-besaran bertajuk No Kings, menentang parade militer Presiden Donald Trump yang digelar di Washington pada Sabtu, 14 Juni 2025. (Video-The Guardian)
WASHINGTON, ARAHKITA.COM — Jutaan warga Amerika Serikat turun ke jalan dalam aksi protes besar-besaran bertajuk "No Kings", menentang parade militer Presiden Donald Trump yang digelar di Washington pada Sabtu, 14 Juni 2025. Demonstrasi ini berlangsung serentak di lebih dari 2.100 lokasi, dari kota besar hingga pelosok kecil, mencerminkan gelombang penolakan terhadap gaya kepemimpinan Trump yang dinilai semakin otoriter.
Koalisi "No Kings", yang terdiri dari lebih dari 100 organisasi, menyuarakan protes mereka secara damai dengan fokus pada penolakan terhadap unjuk kekuatan militer yang dinilai mengancam nilai-nilai demokrasi. Aksi ini menjadi respons atas pengerahan pasukan Garda Nasional dan Marinir AS ke berbagai kota, termasuk Los Angeles, untuk menindak para demonstran yang menentang kebijakan deportasi dan pengabaian otoritas lokal.
Di New York saja, lebih dari 200.000 orang memadati jalanan, sementara Philadelphia mencatat lebih dari 100.000 peserta. Bahkan di kota kecil seperti Pentwater, Michigan, yang berpenduduk hanya 800 orang, ratusan warga ikut turun ke jalan.
Namun, tidak semua berlangsung damai. Ketegangan pecah di Los Angeles dan Portland, di mana kepolisian menyatakan protes sebagai pertemuan ilegal dan membubarkan massa menggunakan gas air mata. Beberapa insiden kekerasan juga terjadi, termasuk penembakan terhadap dua anggota parlemen Demokrat di Minnesota, salah satunya tewas bersama suaminya—sebuah serangan yang diduga bermotif politik.
Massa di Minnesota tetap melanjutkan protes di gedung DPR negara bagian sebagai bentuk penolakan terhadap kekerasan politik. Perry McGowan, salah satu peserta, mengatakan bahwa aksi ini bukan hanya tentang Trump, tetapi juga tentang melawan budaya kekerasan dan kebencian yang makin meresahkan.
Di berbagai negara bagian yang dipimpin Partai Republik, pengamanan diperketat. Gubernur Texas Greg Abbott mengerahkan pasukan Garda Nasional, sementara Gubernur Florida Ron DeSantis menyatakan bahwa warga berhak melindungi diri dengan mobil jika merasa terancam oleh massa.
Di Philadelphia, ribuan orang berbaris membawa payung dan poster. Victor, seorang imigran asal Argentina, menyuarakan keresahannya terhadap narasi anti-imigran yang menurutnya mengkhianati semangat “tanah harapan” yang menjadi identitas Amerika.
Sementara itu, di San Francisco dan Virginia, dua insiden penabrakan demonstran oleh kendaraan terjadi, meskipun korban dilaporkan tidak mengalami luka yang mengancam jiwa. Di Los Angeles, pengunjuk rasa berkumpul di luar gedung federal sambil menyerukan penarikan pasukan dari kota mereka, yang kemudian berujung pada bentrokan dengan aparat.
Uniknya, tidak ada aksi besar dari koalisi "No Kings" di Washington D.C. sebagai strategi untuk tidak memberi legitimasi pada parade militer Trump. Namun, aksi alternatif bertajuk "DC Joy Day" digelar untuk merayakan keragaman dan solidaritas warga ibu kota.
Veteran Angkatan Darat Chris Yeazel turut bergabung dalam pawai terpisah menuju Gedung Putih. Ia mengkritik pengerahan pasukan Trump ke Los Angeles dan menilai pidatonya di Fort Bragg sebagai bentuk politisasi militer yang berbahaya.
Trump sempat mengancam akan merespons demonstrasi dengan "kekuatan besar", namun kemudian Gedung Putih menyatakan bahwa presiden mendukung protes damai. Meski demikian, pernyataan tersebut tak meredam kritik publik yang semakin luas sebagaimana dilaporkan The Guardian.
Menurut Konsorsium Penghitung Massa Harvard, jumlah demonstrasi pada Maret 2025 telah mencapai tiga kali lipat dari puncak aksi massa tahun 2017. Puncaknya terjadi pada 5 April lalu dalam aksi "Hands Off" yang diikuti sekitar 1,5 juta orang.
“Mobilisasi warga pada 2025 jauh melampaui skala protes di masa jabatan pertama Trump,” demikian bunyi analisis konsorsium tersebut. “Namun sayangnya, hal ini kerap luput dari perhatian publik dan media arus utama.”