Loading
llustrasi bendera Palestina (Foto: Getty Images/Artaxerxes Longhand)
BERLIN, ARAHKITA.COM – Jerman menegaskan tidak akan mengakui negara Palestina, meski desakan publik semakin menguat, terutama di tengah konflik dan serangan militer Israel di Jalur Gaza. Pernyataan ini disampaikan Kanselir Jerman Friedrich Merz pada Selasa (26/8/2025) di Berlin.
Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, Merz menegaskan bahwa posisi pemerintah Jerman berbeda dari Kanada, Australia, dan Prancis yang berencana mengakui Palestina di Majelis Umum PBB bulan depan. “Pemerintah Kanada mengetahui dengan jelas sikap Jerman. Kami tidak akan mendukung inisiatif pengakuan Palestina sebagai negara,” ujar Merz, politisi konservatif dari partai CDU.
Merz menambahkan, serangan militer Israel baru-baru ini yang menewaskan warga sipil, jurnalis, tenaga kesehatan, dan tim penyelamat di Gaza tidak mengubah keputusan Jerman. “Saat ini, kami tidak melihat kondisi yang memungkinkan untuk mengakui negara Palestina. Sikap kami tetap konsisten,” katanya.
Meski pemerintah Jerman mengecam blokade bantuan kemanusiaan dan perluasan operasi militer Israel di Gaza, Merz menolak mengambil langkah politik lebih keras terhadap pemerintah Benjamin Netanyahu. Jerman hanya membekukan sebagian ekspor senjata yang kemungkinan digunakan di Gaza, namun menolak sanksi atau penangguhan perjanjian dagang penting dengan Israel.
Jerman tetap mendukung solusi dua-negara sebagai jalan penyelesaian konflik Israel-Palestina. Menurut pemerintah Jerman, pengakuan negara Palestina sebaiknya terjadi melalui perundingan damai, bukan secara sepihak. Namun, para pengkritik menilai ekspansi militer Israel, aneksasi wilayah Palestina, dan pembangunan permukiman ilegal semakin menutup peluang diplomasi. Mereka menyerukan tindakan lebih tegas, termasuk melalui pengakuan resmi terhadap Palestina.
Survei terbaru media publik ZDF menunjukkan mayoritas warga Jerman justru mendukung pengakuan Palestina. Hasilnya, 60 persen responden setuju, 22 persen menolak, dan 18 persen tidak memberikan jawaban. Angka ini menunjukkan adanya jurang antara pandangan publik dan kebijakan resmi pemerintah dikutip Antara.