Loading
Para peserta berpartisipasi dalam parade Montreal Pride di Montreal, Quebec, Kanada, bulan lalu. (Foto: Andrej Ivanov/AFP/Getty Images/The Guardian)
JAKARTA, ARAHKITA.COM – Kekhawatiran komunitas LGBTQ+ di Amerika Serikat kian meningkat setelah Donald Trump kembali terpilih sebagai presiden. Banyak dari mereka kini mempertimbangkan Kanada sebagai tempat aman untuk memulai hidup baru.
Data dari Rainbow Railroad, organisasi amal yang fokus membantu LGBTQ+ melarikan diri dari diskriminasi dan kekerasan, menunjukkan lonjakan signifikan permintaan dukungan relokasi dari warga AS. Dalam delapan bulan pertama tahun ini saja, tercatat lebih dari 4.000 panggilan—naik hingga 760% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Sebagian besar penelepon mengatakan ingin keluar dari AS karena merasa takut dengan situasi politik dan hukum yang makin tidak ramah,” jelas Latoya Nugent, perwakilan Rainbow Railroad.
Lonjakan panggilan ini terjadi terutama setelah kemenangan Trump. Hanya dalam 24 jam pasca-pemilu, organisasi tersebut menerima lebih dari 1.100 permintaan bantuan dari Amerika. Untuk pertama kalinya, AS bahkan menjadi negara dengan jumlah permintaan terbanyak, mengalahkan negara-negara yang biasanya dikenal represif terhadap komunitas LGBTQ+.
Aturan Baru yang Dinilai Mengancam
Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump langsung mengeluarkan sejumlah kebijakan kontroversial:
Selain itu, organisasi advokasi GLAAD mencatat setidaknya ada 255 serangan kebijakan maupun retorika terhadap LGBTQ+ dalam 100 hari pertama kepemimpinan Trump. Di tingkat negara bagian, lebih dari 600 rancangan undang-undang anti-LGBTQ+ diajukan sepanjang tahun, termasuk larangan pengibaran bendera pelangi di gedung pemerintahan dan sekolah.
Kanada Jadi Harapan
Meski peluang pindah ke Kanada tidak mudah, beberapa kasus terbaru memberi secercah harapan. Misalnya, seorang seniman non-biner dari Minnesota berhasil menghentikan deportasinya setelah hakim menilai kondisi LGBTQ+ di AS tidak aman.
Kasus lain adalah Hannah Kreager, perempuan transgender 22 tahun dari Arizona, yang mengajukan suaka di Kanada dengan alasan takut persekusi akibat kebijakan Trump. Pengacaranya, Yameena Ansari, menyebut kasus ini bisa menjadi preseden penting karena menyoroti bagaimana warga AS sendiri kini meminta perlindungan di luar negeri.
“Klaim ini biasanya datang dari Afrika atau Rusia. Kini kita bicara tentang orang Amerika yang merasa tidak aman di negaranya sendiri,” jelas Ansari.
Ketakutan yang Semakin Nyata
Menurut Rainbow Railroad, 61% penelepon dari AS adalah transgender—kelompok yang paling rentan dengan gelombang kebijakan baru. Banyak yang merasa tidak ada satu pun negara bagian di AS yang benar-benar bisa menjamin keselamatan mereka.
Walau jalan menuju relokasi penuh risiko, kasus-kasus seperti Hannah memberi inspirasi. “Keberaniannya menunjukkan bahwa ada harapan, dan itu membuat lebih banyak orang berani mencari jalan keluar,” ujar Ansari dilapporkan The Guardian.
Gelombang ketakutan ini sekaligus menandai babak baru dalam perjuangan hak asasi di Amerika. Bagi sebagian warga LGBTQ+, meninggalkan tanah kelahiran bukan sekadar pilihan, melainkan satu-satunya cara untuk bertahan.