Loading
Anak-anak dan warga Gaza, Palestina, berebut untuk mendapatkan makanan di tengah kelaparan yang melanda wilayah tersebut. (ANTARA/Xinhua)
KOTA GAZA, ARAHKITA.COM – Lebih dari satu juta warga Palestina di Kota Gaza dan wilayah utaranya memilih bertahan di tanah mereka, meski terus dihantam serangan udara Israel. Di balik angka-angka yang tercatat, tersimpan kisah pilu keluarga yang menolak diusir dari rumah sendiri, meski setiap hari hidup mereka dipertaruhkan.
Bertahan di Tengah Ancaman
Menurut data Kantor Media Gaza, lebih dari 1,3 juta jiwa masih berada di Gaza City dan wilayah utara. Dari jumlah itu, sekitar 350 ribu adalah anak-anak. Mereka menolak untuk pindah ke bagian selatan Jalur Gaza, meski wilayah tersebut disebut sebagai “zona aman” oleh Israel.
Faktanya, kawasan al-Mawasi di Khan Younis dan Rafah—yang dijadikan tempat pemindahan massal—justru dibombardir lebih dari seratus kali. Tidak ada rumah sakit, infrastruktur memadai, listrik, air, maupun sekolah yang layak. Situasi ini membuat ribuan warga yang sempat mengungsi memilih kembali ke rumah mereka, meski berisiko menghadapi serangan.
Suara dari Jalanan Gaza
Di jalan pesisir Al-Rashid, ratusan keluarga tampak berjalan ke arah selatan dengan penuh keputusasaan. Anak-anak menyeret tas berisi pakaian seadanya, sementara para ayah mendorong gerobak berisi roti basi dan selimut. Suasana ini digambarkan Um Ahmad Ashour, seorang ibu dari Gaza City, yang menahan air mata saat berbicara:
“Saya tidak tahu ketakutan mana yang lebih berat: kehilangan anak-anak akibat bom, atau melihat mereka menderita di tempat yang bahkan tidak layak ditinggali.”
Seperti banyak warga lainnya, Ashour pernah mengalami pengungsian di awal perang. Saat itu, ia bersumpah tak akan pernah pergi lagi. Namun, kini ia kembali berada di jalanan, terhimpit antara bertahan atau kehilangan segalanya.
Kenangan dan Ketakutan
Khaled Abu Urmana, seorang kakek berusia 65 tahun, juga memilih kembali ke Gaza City setelah gencatan senjata Februari lalu. Ia berharap bisa membangun kembali rumahnya, namun yang ia temui hanya puing-puing dan penderitaan.
“Kami bukan sekadar angka atau gambar di layar. Kami manusia, dengan nama, anak-anak, mimpi, dan kenangan,” ujarnya.
Sementara itu, Yasser Abu Shaban, pemuda berusia 20-an tahun, menggambarkan rasa putus asa yang mendalam:
“Di Gaza, kami tidak lagi membedakan antara hidup dan mati. Hidup di sini adalah kematian perlahan, sementara kematian terasa lebih berbelas kasih daripada penderitaan ini.”
Krisis Kemanusiaan yang Memburuk
Otoritas kesehatan Gaza melaporkan, sejak perang terbaru pecah pada 7 Oktober 2023, lebih dari 64 ribu orang tewas dan 164 ribu lainnya terluka. Dalam sepekan terakhir saja, puluhan ribu orang kehilangan rumah, 12 menara tinggi hancur, dan ratusan sekolah serta masjid rata dengan tanah.Kantor Media Gaza menegaskan, pemindahan paksa warga Palestina adalah bentuk kejahatan yang melanggar hukum internasional. Meski demikian, Israel terus menyebarkan selebaran dan peringatan lewat telepon agar warga bergerak ke “zona kemanusiaan” yang padat dan nyaris tidak layak huni.
Hidup dalam Ketidakpastian
Bagi warga Gaza, pilihan yang tersisa hanyalah bertahan di tengah reruntuhan atau mengungsi ke tempat yang sama-sama mematikan. Seperti kata Ashour, “Kami berjalan menuju hal yang tidak diketahui, dan itu tidak kalah menakutkannya dari kematian,”katanya dilansir Antara.
Di tanah yang terus dilanda bom dan genosida, Gaza hari ini menjadi simbol perlawanan sekaligus penderitaan, di mana hidup dan mati hanya berbeda tipis, namun tekad mempertahankan martabat tetap menyala di tengah reruntuhan.