Selasa, 30 Desember 2025

Prancis dan Spanyol Desak Pembatasan Hak Veto di Dewan Keamanan PBB: Krisis Kemanusiaan Tak Bisa Terus Terganjal


 Prancis dan Spanyol Desak Pembatasan Hak Veto di Dewan Keamanan PBB: Krisis Kemanusiaan Tak Bisa Terus Terganjal Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres (di layar) berbicara melalui tautan video pada debat terbuka Dewan Keamanan tentang masa depan PBB di Markas Besar PBB di New York, 24 Oktober 2025. ANTARA/Xinhua/Xie E.

JAKARTA, ARAHKITA.COM — Dua negara Eropa, Prancis dan Spanyol, kembali menyerukan reformasi besar dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mendesak pembatasan penggunaan hak veto yang selama ini kerap menjadi penghalang aksi global terhadap krisis kemanusiaan, termasuk konflik berkepanjangan di Gaza.

Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot menilai sistem Dewan Keamanan sudah tidak mencerminkan realitas dunia masa kini. Ia menekankan bahwa lembaga tertinggi PBB itu perlu dikembalikan pada fungsi dasarnya: menjaga perdamaian dunia secara adil dan representatif.

“Dewan Keamanan harus direformasi agar keputusan yang diambil lebih sah dan mencerminkan tatanan global saat ini,” ujar Barrot dalam Forum Perdamaian Paris, Kamis (30/10/2025).

Menurut Barrot, Prancis bersama Meksiko telah lama menggagas pembatasan hak veto terutama untuk kasus pelanggaran berat kemanusiaan. Kini, lebih dari 20 negara telah menyatakan dukungan atas inisiatif tersebut.

“Kami gagal mencapai komitmen bersama soal Gaza. Karena itu, Dewan Keamanan memikul tanggung jawab moral dan politik untuk menegakkan hukum internasional,” tegasnya.

“Ketika hak asasi manusia terancam, keputusan penting tidak boleh diblokir hanya karena hak veto,” tambah Barrot.

Dukungan Spanyol: “Kemanusiaan Harus Didahulukan”

Menteri Luar Negeri Spanyol Jose Manuel Albares menggemakan seruan yang sama. Ia menegaskan bahwa Spanyol konsisten membela hukum internasional di berbagai konflik—baik di Ukraina, Gaza, Sudan, maupun Sahel.

“Kami membela hukum humaniter dan perlindungan terhadap warga sipil,” ujar Albares.

Ia juga menyoroti peran penting UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, yang menurutnya merupakan lembaga “tak tergantikan”.

“Enam juta warga Palestina bergantung pada UNRWA. Bantuan kemanusiaan harus bisa masuk ke Gaza tanpa hambatan, dan mereka yang menyerang pekerja kemanusiaan harus dimintai pertanggungjawaban,” katanya.

Albares menegaskan pula bahwa putusan Mahkamah Internasional bersifat mengikat bagi seluruh anggota PBB.

“Tidak ada negara, termasuk Israel, yang bisa bertindak seolah memiliki hak veto atas hukum internasional,” tegasnya.

Palang Merah Internasional: “Situasi di Gaza Sangat Berbahaya”

Presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC), Mirjana Spoljaric-Egger, memperingatkan bahwa operasi kemanusiaan di Gaza masih dalam kondisi “sangat kompleks dan berbahaya”. Ia menegaskan bahwa gencatan senjata harus dipertahankan demi menyelamatkan jutaan nyawa.

“Jika pertempuran kembali pecah, rakyat Gaza tidak akan mampu bertahan,” ujarnya dikutip Antara.

Spoljaric juga menyoroti ancaman global dari pelanggaran hukum internasional di Gaza dan Sudan.

“Mengabaikan hukum internasional hanya akan memberi sinyal kepada ratusan kelompok bersenjata bahwa segalanya diperbolehkan,” katanya.

“Apalagi kini kekuatan mereka makin besar dengan kemajuan teknologi.”

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Internasional Terbaru