Rabu, 31 Desember 2025

Pengungsi Ukraina Mundur dari Sekolah di Inggris Usai Ditekan Belajar Bahasa Rusia


 Pengungsi Ukraina Mundur dari Sekolah di Inggris Usai Ditekan Belajar Bahasa Rusia Kateryna Endeberia: 'Tidak seorang pun mencoba memahami betapa menyakitkan pengalaman ini bagi saya. (Foto: Fabio de Paola/The Guardian)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Seorang pengungsi asal Ukraina memutuskan keluar dari sekolah menengah atas di Inggris setelah mengaku mendapat tekanan untuk mempelajari bahasa Rusia, sebuah permintaan yang ia nilai menyakitkan dan tidak sensitif terhadap trauma perang yang dialaminya.

Kateryna Endeberia, remaja berusia 19 tahun, pindah ke Stoke-on-Trent pada 2022 setelah melarikan diri dari Ukraina menyusul invasi Rusia. Sebelumnya, ia telah mengikuti ujian GCSE di The Excel Academy pada 2023, melanjutkan ke tahun persiapan di City of Stoke-on-Trent Sixth Form College (SFC), lalu mengambil mata pelajaran ekonomi, politik, dan statistik.

Namun, saat mengalami kesulitan akademik di tingkat A-level, Kateryna mengaku para pengajar justru mendorongnya untuk beralih mengambil mata pelajaran Bahasa Rusia. Bagi Kateryna, usulan itu terasa seperti membuka kembali luka lama.

“Ayah saya adalah tentara Ukraina. Saya lahir di Donetsk, wilayah yang menjadi titik awal perang sejak 2014. Bahasa Rusia bukan sekadar bahasa asing bagi saya—ia membawa trauma,” ujarnya kepada The Guardian.

Kateryna menilai dorongan tersebut sebagai tindakan tidak empatik, bahkan menyerupai diskriminasi. Ia juga mengaku kerap merasa terintimidasi karena aksennya serta tidak mendapatkan dukungan akademik tambahan dari pihak kampus.

Alih-alih dibantu memahami materi yang sulit, ia mengaku terus diarahkan untuk mengganti jalur studinya. “Tidak ada yang benar-benar mencoba memahami betapa menyakitkan pengalaman ini bagi saya,” katanya.

Merasa tidak mendapatkan kejelasan terkait larangan melanjutkan studi di bidang politik, ekonomi, dan statistik, Kateryna akhirnya memilih keluar dari SFC. Saat ini, ia belajar mandiri di rumah dengan bantuan catatan dari teman-temannya dan berencana mengikuti ujian A-level sebagai kandidat privat pada 2026, dengan biaya sekitar £1.400.

Kasus ini tengah ia bawa ke Potteries Educational Trust sebagai lembaga pengawas, dan jika belum menemukan solusi, Kateryna berencana melaporkannya ke Ofsted.Menanggapi hal tersebut, juru bicara City of Stoke-on-Trent Sixth Form College menyatakan pihak kampus sangat peduli pada kesejahteraan siswa dan menangani setiap keluhan sesuai prosedur yang berlaku, namun menolak berkomentar lebih jauh demi menjaga kerahasiaan individu.

Isu ini mencuat di tengah desakan pemerintah Ukraina agar Inggris memberikan ruang bagi pengungsi remaja untuk mempelajari bahasa Ukraina hingga tingkat GCSE. Pada Desember 2024, Menteri Pendidikan Ukraina Oksen Lisovyi bertemu dengan Menteri Pendidikan Inggris Bridget Phillipson untuk memperingatkan bahwa pengajaran bahasa Rusia berpotensi memicu trauma ulang bagi sekitar 27.000 anak Ukraina pengungsi di Inggris.

Komisioner Anak Inggris Rachel de Souza juga mendorong pemerintah agar kembali menghadirkan ujian GCSE bahasa Ukraina. Sementara itu, lembaga ujian AQA menyatakan tengah mempertimbangkan pengembangan kurikulum tersebut, meski diakui prosesnya dapat memakan waktu bertahun-tahun.

Kisah Kateryna menjadi pengingat bahwa pendidikan bagi pengungsi bukan hanya soal akses belajar, tetapi juga soal sensitivitas, empati, dan pemahaman terhadap luka yang mereka bawa dari tanah kelahiran.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Internasional Terbaru