Loading
Prof Tjandra Yoga Aditama mengunjungi Masjid Chongqing (Chong Qing Chin Chen She) yang berdiri megah. (Foto: Dok. Pribadi)
Catatan Perjalanan Prof Tjandra Yoga Aditama — Chongqing, China
PERJALANAN saya ke Chongqing membuka mata tentang betapa uniknya salah satu dari empat kota metropolitan di Tiongkok yang berada langsung di bawah pemerintah pusat—bersama Beijing, Shanghai, dan Tianjin. Kota ini terkenal curam, bertingkat, dan penuh kejutan. Bahkan, tiga spot paling viral di TikTok pun rasanya wajib masuk daftar kunjung siapa pun yang datang ke sini.
Yang pertama tentu ikon yang tak pernah sepi: kereta ringan yang menembus gedung apartemen. Rasanya seperti adegan film fiksi sains saat kereta melintas tepat di tengah bangunan dan keluar begitu saja tanpa henti. Kedua, pengalaman berjalan santai di kawasan belanja yang tampak biasa saja—hingga saya sadar, daratan tempat kami berpijak berada 22 lantai lebih tinggi dari area kota lainnya. Ini membuat Chongqing terasa seperti kota bertingkat raksasa, dipenuhi jembatan layang dan jalan yang naik-turun curam.
Lalu yang ketiga, favorit banyak wisatawan: Hongyadong atau “Gua Hongya”. Kompleks 11 lantai yang berdiri di tepi bukit dan menghadap Sungai Jialing ini berubah menjadi lautan cahaya saat malam tiba. Lampu-lampu keemasan yang memantul di permukaan sungai menciptakan siluet yang dramatis. Konon, bangunan ikonik ini merupakan gagasan seorang perempuan visioner yang membangunnya dengan skala superambisius—dan tentu saja modal luar biasa besar.
Chongqing juga memiliki sisi elegan yang tak kalah menarik, misalnya gedung parlemen kotanya. Halamannya yang luas dipenuhi pengunjung. Rasanya menyenangkan melihat area publik yang terbuka seperti itu—dan mungkin bisa jadi inspirasi bagi gedung parlemen di negara lain, termasuk Indonesia.
Selain pesona modern, Chongqing menyimpan sejarah panjang kehidupan Muslim di Tiongkok. Saya berkesempatan mengunjungi Masjid Chongqing (Chong Qing Chin Chen She) yang berdiri megah. Tulisan merah besar di gerbangnya menyambut hangat setiap tamu. Masjid ini dipercaya telah ada sejak abad ke-15, tepatnya pada masa Dinasti Ming periode Chenghua (1479). Bangunannya sudah mengalami berbagai renovasi, namun atmosfer sejarahnya tetap terasa kuat. Kapasitasnya mencapai sekitar 2.000 jamaah, menjadikannya salah satu pusat kegiatan Muslim di kota ini.
Jumlah Muslim di Tiongkok sendiri sangat beragam menurut berbagai sumber, diperkirakan antara 25–50 juta jiwa pada 2025. Mayoritas berasal dari etnis Uighur dan Hui, terutama di wilayah Xinjiang dan Gansu. Namun keberadaan komunitas Muslim juga terasa di kota-kota besar seperti Chongqing. Saat berkunjung, saya bertemu Pak Ali, seorang warga lokal yang melantunkan qomat sebelum kami melaksanakan salat. Sebuah pengalaman kecil tetapi berkesan, yang menegaskan bahwa keberagaman selalu menemukan tempatnya di mana pun.
Chongqing, dengan segala level ketinggian, lampu kota, dan jejak sejarah, memberi pengalaman perjalanan yang tak hanya menarik untuk dilihat, tetapi juga menyenangkan untuk diceritakan kembali.