Loading
Museum Tekstil menghadirkan beragam koleksi batik dari berbagai daerah di Indonesia. (Foto: Tim Liputan Mahasiswa UBSI, Prodi Ilmu Komunikasi)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Jakarta bukan hanya tentang gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk ibu kota. Di balik dinamika kota, terdapat ruang-ruang sunyi yang menyimpan kisah panjang kebudayaan bangsa, salah satunya Museum Tekstil Jakarta yang berlokasi di Jalan K.S. Tubun, Jakarta Barat.
Museum ini menghadirkan beragam koleksi batik dari berbagai daerah di Indonesia. Setiap lembar kain yang dipamerkan bukan sekadar indah secara visual, tetapi juga menyimpan jejak sejarah, nilai filosofi, serta identitas masyarakat Nusantara. Dari motif, warna, hingga teknik pembuatannya, batik menjadi bukti hidup bagaimana keragaman budaya Indonesia terus dirawat lintas generasi.
Tak hanya memamerkan kain batik, Museum Tekstil Jakarta juga dilengkapi sejumlah fasilitas edukatif. Salah satunya adalah taman pewarna alam, tempat pengunjung dapat mengenal berbagai tanaman yang sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan pewarna tekstil tradisional. Selain itu, tersedia ruang penyimpanan alat tenun, galeri batik, serta beragam kegiatan edukasi seperti workshop membatik yang terbuka untuk anak-anak hingga orang dewasa.
“Lewat kegiatan ini, masyarakat bisa mengenal proses membatik secara langsung, mulai dari mencanting hingga pewarnaan. Bagi banyak pengunjung, pengalaman pertama memegang canting sering kali menjadi momen yang berkesan,” ujar Humas Museum Tekstil Jakarta, Abyan Fahri.
Museum Tekstil juga rutin menggelar pameran tematik. Salah satunya pada 8 November, ketika pameran bertajuk Merawit Rasa digelar di gedung utama museum. Pameran ini menampilkan lebih dari 100 koleksi kain batik asal Cirebon. Istilah merawit diambil dari salah satu teknik membatik yang menggunakan canting khusus dan membutuhkan tingkat ketelitian tinggi, sehingga hanya dikuasai oleh pembatik tertentu.
Menurut Fahri, keterlibatan generasi muda dalam pelestarian batik sudah mulai terlihat, meski masih perlu diperluas. “Kontribusinya sudah ada, tetapi belum masif. Perlu lebih banyak anak muda yang terlibat agar informasi tentang batik bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas,” katanya.
Museum Tekstil Jakarta menyimpan berbagai koleksi unggulan, di antaranya Batik Pagi–Sore dari Pekalongan yang merepresentasikan nilai efisiensi dan keberlanjutan, karena satu kain memuat dua motif berbeda. Ada pula Batik Buketan dengan motif bunga dan tumbuhan yang melambangkan keindahan alam, kesuburan, serta kebahagiaan hidup.
Koleksi lainnya adalah Batik Lawasan Sumatra, kain batik berusia tua dengan warna khas yang terkesan lembut dan sarat makna filosofis, terinspirasi dari alam serta budaya lokal masyarakat Sumatra. Dari Cirebon, terdapat Batik Kudung Ceplok yang dimaknai sebagai simbol perlindungan diri dan harapan akan keselamatan serta kesejahteraan.
Tak kalah menarik, Batik Ceplok Patola memadukan pengaruh lokal dan budaya India-Gujarat, melambangkan keteraturan hidup, suratan takdir, dan kesempurnaan. Sementara itu, Batik Dlorong Kuda menampilkan motif kuda yang berjajar rapi sebagai simbol kekuatan dan dinamika, serta Batik Merak Ngibing dari Jawa Barat yang menggambarkan sepasang burung merak menari, melambangkan keindahan, keharmonisan, dan kegembiraan hidup masyarakat Priangan.
Setiap koleksi memiliki latar sejarah dan cerita yang berbeda. Karena itu, pihak museum aktif menyampaikan edukasi melalui berbagai platform digital. “Kami rutin membagikan informasi pameran, workshop, hingga kunjungan sekolah dan wisatawan asing melalui media sosial, YouTube, dan Instagram,” jelas Fahri.
Untuk menikmati seluruh koleksi dan kegiatan edukatif di Museum Tekstil Jakarta, pengunjung dikenakan tiket yang terjangkau. Tiket masuk dibanderol Rp5.000 untuk pelajar, mahasiswa, dan anak-anak; Rp10.000 untuk masyarakat umum pada hari kerja; Rp15.000 saat akhir pekan; serta Rp50.000 untuk wisatawan mancanegara.
Lebih dari sekadar ruang penyimpanan kain, Museum Tekstil Jakarta hadir sebagai pengingat bahwa batik dan wastra Indonesia adalah bagian penting dari jati diri bangsa. Di tengah modernitas Jakarta, museum ini menjadi ruang belajar dan refleksi, tempat warisan budaya tidak hanya dipamerkan, tetapi terus dihidupkan.
“Harapannya, pemerintah dapat terus meningkatkan fasilitas dan sumber daya manusia di museum. Untuk masyarakat, ayo datang ke museum. Museum itu menyenangkan, bisa dikunjungi bersama keluarga, teman, atau komunitas. Museum hari ini bukan lagi tempat yang membosankan,” tutup Abyan Fahri.
Tim Liputan Mahasiswa UBSI, Prodi Ilmu Komunikasi:
1. Nurani Putri Ramadi (44231609)
2. Putri Nur Cahyati (44230547)
3. Rezika Dentin Pramugani (44232007)
4. Titen Bestari (44230674)