Loading
Fransiscus Go, pegiat UMKM asal Nusa Tenggara Timur. (Foto: Dok. Pribadi)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Di tengah derasnya arus globalisasi dan ketergantungan pada bantuan, sebuah gerakan sosial lahir dari Indonesia Timur—membawa semangat baru tentang kemandirian dan kehormatan hidup. Namanya Tumhiho, singkatan dari Tumbuh Mandiri Hidup Terhormat.
Gagasannya sederhana, tapi pesannya kuat: bangsa ini tidak akan maju jika rakyatnya terus menunggu belas kasihan.
Dari Kesadaran Pribadi, Bukan Ketergantungan
Fransiscus Go, pegiat UMKM asal Nusa Tenggara Timur, memperkenalkan konsep Tumhiho sebagai refleksi dari kegelisahan sosial yang ia lihat setiap hari.“Banyak orang menunggu bantuan, proyek, atau lapangan kerja. Padahal Tuhan sudah kasih kita akal, tenaga, dan waktu. Tinggal kemauan untuk menggerakkan,” ujarnya dalam sebuah perbincangan.
Bagi Fransiscus, “tumbuh” berarti berani belajar meski dalam keterbatasan. Data BP2MI 2024 menunjukkan ada 297.434 pekerja migran Indonesia yang berangkat ke luar negeri—sebagian besar berpendidikan rendah dan bekerja di sektor domestik. Banyak dari mereka menghadapi eksploitasi karena minim keterampilan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa kemiskinan sering berakar pada kurangnya kemampuan dan kesempatan. Tumhiho hadir untuk membalik pandangan itu: jangan hanya mencari pekerjaan, tapi ciptakan peluang sendiri.
Kemandirian yang Menjadi Kehormatan
Nilai kedua Tumhiho adalah “mandiri”. Bukan berarti menolak bantuan, melainkan menjadikan bantuan sebagai pemicu perubahan.Di tengah lonjakan 42 ribu kasus PHK hingga pertengahan 2025 dan angka pengangguran 7,28 juta orang (BPS, Februari 2025), kemandirian menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda.
“Kalau kita hanya menunggu, kita akan terus kalah oleh waktu,” ujar Fransiscus.
Ia mencontohkan warga desa yang mulai membuka kebun hidroponik, usaha jahit, atau daur ulang sampah menjadi barang bernilai. “Itu Tumhiho dalam praktik,” tegasnya.
Hidup Terhormat Lewat Kerja Jujur
Bagi Fransiscus Go, kehormatan bukan diukur dari kekayaan, tapi dari kejujuran dan tanggung jawab.“Orang yang hidup dari hasil kerja sendiri mungkin tidak kaya, tapi dia punya martabat,” katanya.
Mereka yang berjuang dengan tangan sendiri—berjualan kecil, bertani, atau membuat kerajinan—hidup dengan kepala tegak. Sebaliknya, mereka yang menggantungkan hidup pada belas kasih orang lain perlahan kehilangan harga dirinya.
Tumhiho ingin mengembalikan rasa bangga pada kerja keras dan kejujuran—dua nilai yang dulu menjadi jiwa bangsa ini.
Gerakan dengan Dampak Nyata
Tumhiho bukan sekadar slogan moral. Jika dijalankan bersama, ia bisa membawa dampak besar bagi masyarakat.
Mengurangi migrasi kerja berisiko tinggi.
Pelatihan keterampilan di daerah bisa membuat warga bertahan di kampung sendiri, tanpa harus ke luar negeri.
Menekan pengangguran dan membuka lapangan kerja baru.Saat PHK meningkat, warga yang berani berwirausaha membantu roda ekonomi tetap berputar.
Memperkuat ekonomi desa dan UMKM.
Selama pandemi, sektor UMKM terbukti tangguh. Kontribusinya 61,07% terhadap PDB nasional, dengan 97% tenaga kerja diserap (Kemenko Perekonomian).
Menumbuhkan solidaritas sosial.
Dalam semangat Tumhiho, yang sudah mandiri membantu yang sedang belajar mandiri. Gotong royong bukan sekadar jargon, tapi wujud nyata saling menguatkan.
Meningkatkan kepercayaan diri bangsa.
Bangsa yang berdiri di atas kakinya sendiri akan dihormati di mata dunia. Kemandirian ekonomi berarti martabat nasional yang terjaga.
Dari NTT untuk Indonesia
Gerakan Tumhiho tumbuh dari akar lokal NTT—wilayah yang akrab dengan semangat kerja keras dan solidaritas. Fransiscus Go menutup pesannya dengan kalimat khas daerah:
“Katong baku jaga, untuk NTT lebe bae. Tapi bukan cuma NTT, ini juga untuk Indonesia yang lebih kuat.”
Tumhiho bukan sekadar ajakan moral, melainkan peta jalan menuju bangsa yang berdaya dan bermartabat.
Bangsa yang hidup dari hasil kerja sendiri adalah bangsa yang tidak akan pernah kehilangan harga dirinya.