Loading
Advokat dan akademisi hukum, Dr. Siprianus Edi Hardum, S.H., M.H. (Foto: Istimewa)
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Surat edaran Pemerintah Kabupaten Manggarai yang mewajibkan masyarakat melampirkan bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) untuk mendaftarkan anak ke sekolah menuai kecaman luas. Tak hanya dinilai diskriminatif, kebijakan ini juga dianggap melanggar konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pendidikan dasar dan menengah gratis.
Surat Edaran Nomor: B/1488/400.3.6.5/VI/2025 yang dikeluarkan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Manggarai pada 24 Juni 2025 itu mewajibkan pelunasan PBB sebagai syarat penerimaan siswa baru jenjang TK, SD, dan SMP tahun ajaran 2025/2026.
Edaran ini merujuk pada Instruksi Bupati Manggarai Nomor 2 Tahun 2025 dan menyebutkan bahwa langkah tersebut adalah bentuk kolaborasi untuk meningkatkan kesadaran membayar pajak daerah demi pembiayaan pembangunan.
Namun, pendekatan ini dianggap keliru secara etik, hukum, dan prinsip pelayanan publik.
Edi Hardum: Ini Bukan Inovasi, Tapi “Kreatif dalam Kebodohan”
Advokat dan akademisi hukum, Dr. Siprianus Edi Hardum, S.H., M.H., dengan tegas menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk "kreatif dalam kebodohan". Ia mengecam Bupati Manggarai Bupati Herybertus Geradus Laju Nabit yang biasa disapa Heri Nabit dan jajarannya karena menjadikan akses pendidikan sebagai alat paksa membayar pajak.
“Kebijakan ini bodoh dan membodohkan. Bukannya membantu masyarakat agar cerdas lewat pendidikan, justru menghalangi mereka hanya karena belum bayar PBB-P2. Di Manggarai banyak orang tidak bayar PBB bukan karena bandel, tapi karena memang tidak mampu!” ujar Edi Hardum dengan nada geram.
Menurutnya, surat edaran ini tidak memiliki dasar yang kuat secara hukum dan justru melanggar prinsip negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
“Bupati dan jajarannya seolah menganggap masyarakat malas bayar pajak, padahal kenyataannya banyak yang tidak sanggup. Tanah mereka tidak produktif, listrik pun kadang susah bayar, apalagi PBB. Ini logika kekuasaan yang menindas rakyat kecil,” lanjutnya dalam pernyataan yang disampaikan ke media ini, Jumat (27/6/2025)
Langgar Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pendidikan Gratis
Lebih jauh, kebijakan Pemkab Manggarai tersebut secara nyata bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 27 Mei 2025.
Dalam putusan itu, MK memutuskan bahwa frasa dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang membolehkan pungutan biaya multitafsir dan diskriminatif. MK secara tegas menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar gratis, termasuk untuk sekolah swasta di daerah tertentu.
“Putusan MK itu final dan mengikat. Pemerintah daerah tidak bisa seenaknya mengkondisikan syarat masuk sekolah dengan administrasi non-pendidikan. Ini pelanggaran serius terhadap hak warga atas pendidikan,” tegas Edi.
Ia menyebut kebijakan seperti ini sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan bentuk kegagalan negara dalam menjamin hak dasar warga negara.
Seruan untuk Aksi dan Gugatan Hukum
Tak berhenti pada kritik verbal, Edi juga mendorong masyarakat untuk bertindak.
“Saya minta masyarakat Manggarai tolak edaran ini. Turun ke jalan, lakukan aksi damai di Ruteng dan kantor camat. Ini bukan sekadar soal PBB-P2, ini soal hak anak-anak untuk mengenyam pendidikan tanpa syarat diskriminatif,” serunya.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar kebijakan ini segera digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta meminta Menteri Dalam Negeri dan Gubernur NTT untuk menegur Bupati Heri Nabit.
“Kalau perlu, DPRD Manggarai juga panggil Bupati. Jangan biarkan pendidikan dikomersialkan dan dijadikan alat tekanan,” ujarnya.
Konteks Nasional: Pendidikan Dasar Gratis Wajib Dilaksanakan
Putusan MK tentang sekolah gratis ini saat ini tengah diintegrasikan dalam Revisi Undang-Undang Sisdiknas yang sedang dibahas di DPR RI. Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen memperluas akses pendidikan gratis hingga mencakup sekolah swasta di daerah yang minim daya tampung sekolah negeri.
Komisi X DPR dan Kementerian Pendidikan juga telah membahas realokasi anggaran pendidikan untuk memastikan implementasi putusan MK. Dalam RAPBN 2025, sektor pendidikan mendapatkan porsi 20 persen anggaran nasional, yaitu sebesar Rp 724,3 triliun.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, juga menegaskan pentingnya kodifikasi ulang sistem pendidikan nasional agar seluruh regulasi pendidikan—termasuk UU Guru dan Dosen, Pendidikan Tinggi, dan Pesantren—terintegrasi secara utuh dan adil.
Pertanyaan Besar: Mengapa Kebijakan Daerah Bisa Bertolak Belakang dengan Hukum Nasional?
Kasus Manggarai menyingkap persoalan mendasar: mengapa masih ada kebijakan daerah yang tidak selaras dengan konstitusi dan putusan lembaga peradilan tertinggi seperti MK? Dalam konteks negara hukum, inkonsistensi ini tidak bisa dibiarkan.
Edi Hardum menutup pernyataannya dengan pesan tajam:
“Jangan jadikan pendidikan sebagai hadiah hanya bagi yang mampu bayar pajak. Pendidikan adalah hak, bukan privilese. Negara harus hadir mencerdaskan, bukan membatasi.”