Selasa, 30 Desember 2025

Suara Pemuda Papua Menggema di Forum Iklim Dunia, dari Hutan Mamta ke COP30 Brasil


  • Kamis, 03 Juli 2025 | 23:30
  • | News
 Suara Pemuda Papua Menggema di Forum Iklim Dunia, dari Hutan Mamta ke COP30 Brasil Bersama Vanessa Reba, 24, dari Gerakan Malamoi, yang juga aktif dalam pemberdayaan pemuda, Iqbal tergabung dalam 23 pemuda Indonesia yang menyusun Deklarasi Pemuda Global untuk Keadilan Iklim melalui inisiatif organisasi Kolombia, Life of Pachamama. (Foto:Istimewa)

JAKARTA, ARAHKITA.COM - Di tengah gempuran krisis iklim dan ancaman deforestasi yang merayap cepat, muncul suara-suara perlawanan yang lahir dari tanah yang paling terdampak. Bukan dari para diplomat atau pemimpin dunia, tetapi dari pemuda adat—anak-anak muda yang terhubung langsung dengan bumi tempat mereka dilahirkan.

Dua di antaranya adalah Iqbal Kaplele dan Vanessa Reba, wakil pemuda Papua yang akan menyuarakan hak-hak masyarakat adat dalam forum paling prestisius dunia: Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil.

Iqbal Kaplele: Dari Hutan Mamta Menuju Diplomasi Iklim Global

Lahir dan besar di wilayah adat Mamta, Papua, Iqbal Kaplele menyaksikan langsung bagaimana kehijauan hutan tempatnya tumbuh perlahan menghilang. Di usia 25 tahun, Iqbal tidak tinggal diam. Ia kini aktif sebagai pegiat lingkungan melalui komunitas Papua Trada Sampah, dan memegang teguh satu keyakinan: generasi mudalah yang paling terdampak perubahan iklim, sekaligus yang paling layak didengar.

“Kami sudah tidak bisa pura-pura bahwa bumi baik-baik saja. Anak muda harus bersuara dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Karena masa depan yang akan kami jalani ditentukan hari ini,” tegas Iqbal.

Iqbal adalah satu dari 23 pemuda Indonesia yang menyusun Deklarasi Pemuda Global untuk Keadilan Iklim, inisiatif yang diinisiasi organisasi muda asal Kolombia, Life of Pachamama. Dokumen ini disusun bersama lebih dari 600 pemuda dari berbagai negara dan akan dibacakan di forum resmi COP30 pada November 2025 mendatang.

Vanessa Reba: Advokat Muda Adat dari Saireri

Bersama Iqbal, Vanessa Reba juga akan mewakili suara pemuda adat dari Papua. Aktivis muda berusia 24 tahun ini berasal dari Suku Saireri dan dikenal aktif dalam pemberdayaan pemuda melalui Gerakan Malamoi. Ia berharap, keterlibatan mereka bukan hanya simbolis, tapi menjadi tonggak partisipasi bermakna generasi muda dalam kebijakan iklim global.

“Kami ingin memastikan bahwa suara dari komunitas yang terpinggirkan, baik secara geografis maupun struktural, benar-benar mendapat tempat dalam proses pengambilan keputusan. Kami bukan objek, kami pelaku perubahan,” ujar Vanessa.

Deklarasi Pemuda untuk Keadilan Iklim: Isi dan Tuntutan

Deklarasi yang dibawa oleh Iqbal, Vanessa, dan ratusan pemuda lainnya berisi seruan konkret agar anak muda tidak hanya dilibatkan, tetapi memiliki ruang kuasa dalam kebijakan lingkungan. Lima isu utama yang mereka usung antara lain:

1. Partisipasi Bermakna Pemuda dalam Kebijakan Iklim

2. Desentralisasi Berbasis Wilayah Adat

3. Akuntabilitas Korporasi atas Kerusakan Lingkungan

4. Perlindungan terhadap Pembela Lingkungan Muda

5. Keterbukaan Informasi dan Pembentukan Observatorium Pemuda

Seluruh proses penyusunan deklarasi dilakukan melalui lebih dari 30 sesi pelatihan dan dialog antar generasi yang mendalam. Proses ini menjadi ajang latihan kepemimpinan dan advokasi bagi pemuda dari seluruh dunia, khususnya dari negara-negara di belahan dunia Selatan.

Papua: Tanah Kaya yang Terluka

Tak bisa disangkal, Papua merupakan salah satu wilayah paling kaya secara ekologis di Indonesia. Namun, ekspansi tambang, pembukaan lahan, dan pembangunan skala besar telah menyebabkan kerusakan masif yang berdampak pada komunitas lokal.

“Papua adalah benteng terakhir iklim dunia. Setelah Amazon rusak, dan hutan Sumatera serta Kalimantan terkikis, Papua adalah harapan terakhir Indonesia,” jelas Iqbal.

Namun suara masyarakat adat dan pemuda Papua kerap terpinggirkan dalam forum-forum nasional. Iqbal menyoroti bahwa forum formal seperti Musrenbang atau Forum Anak Indonesia belum efektif menjembatani aspirasi pemuda dalam isu iklim.

Tiga Isu Strategis Indonesia yang Akan Dibawa ke COP30

Iqbal secara khusus akan membawa tiga isu utama dari Indonesia ke COP30:

Pengakuan Hak Masyarakat Adat

Penghentian Deforestasi

Evaluasi Radikal terhadap Pertambangan

Ia juga menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan solusi iklim yang sangat krusial dan mendesak bagi Indonesia.

“Kalau kita serius dengan isu perubahan iklim, maka kita harus mulai dengan mengakui dan melindungi masyarakat adat,” tegasnya.

Mengenal Life of Pachamama dan COP30

Life of Pachamama adalah organisasi lingkungan yang berbasis di Kolombia dan dipimpin oleh pemuda. Mereka memperjuangkan keadilan iklim melalui pendidikan, advokasi, dan pendekatan lintas generasi serta interseksionalitas. Organisasi ini aktif memperjuangkan ruang bagi anak muda dalam forum negosiasi kebijakan global.

Sementara itu, COP30 merupakan pertemuan tahunan ke-30 negara-negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Diselenggarakan pada 10–21 November 2025 di Belém, Brasil, forum ini menjadi titik temu para pemimpin dunia, aktivis, dan ilmuwan untuk menyusun langkah kolektif menghadapi krisis iklim global.

Masa Depan Tidak Bisa Dirancang Tanpa Anak Muda

Pesan yang dibawa Iqbal dan Vanessa ke COP30 bukan sekadar tuntutan, tapi juga harapan. Harapan bahwa dunia akan berhenti merancang masa depan tanpa melibatkan generasi yang akan menghuninya.

“Kami akan bersuara untuk udara yang layak, untuk hutan yang tersisa, dan untuk hak hidup masyarakat adat. Kami tidak meminta untuk dilibatkan. Kami menuntut hak kami,” tutup Iqbal dalam rilis yang disampaikan ke media ini, Kamis (3/7/2025).

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru