Rabu, 31 Desember 2025

Kontroversi Pengembalian Status Letjen Novi Helmy: Kemunduran Reformasi TNI di Era Prabowo-Gibran?


  • Sabtu, 05 Juli 2025 | 21:00
  • | News
 Kontroversi Pengembalian Status Letjen Novi Helmy: Kemunduran Reformasi TNI di Era Prabowo-Gibran? Hendardi, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute. (Net)

JAKARTA, ARAHKITA.COM  – Reformasi TNI kembali menghadapi ujian serius di tengah pemerintahan Prabowo-Gibran yang baru berlangsung sembilan bulan. Sorotan kali ini tertuju pada pengembalian status militer aktif Letjen TNI Novi Helmy Prasetya setelah menjabat Direktur Utama Perum Bulog. Kebijakan ini menuai kritik tajam karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan mencerminkan kemunduran dalam agenda reformasi militer.

Pengangkatan Letjen Novi Helmy sebagai Dirut Bulog diteken melalui Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-30/MBU/02/2025 pada 7 Februari 2025. Jabatan tersebut jelas berada di luar daftar jabatan sipil yang diperbolehkan bagi prajurit aktif, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Ketika gelombang kritik bermunculan, pihak TNI sempat menyatakan bahwa Letjen Novi sedang dalam proses pengunduran diri dari dinas militer. Namun, belakangan statusnya justru dikembalikan sebagai prajurit aktif.

Dua Versi Penjelasan, Satu Masalah Tata Kelola

Kebingungan publik makin bertambah ketika Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menyebut bahwa penempatan Letjen Novi Helmy di Bulog merupakan bentuk “penugasan” dari institusi TNI, bukan pengunduran diri. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Letjen Novi tidak pernah secara resmi pensiun dari militer, tetapi hanya berganti seragam untuk sementara waktu. Hal ini bertentangan dengan prinsip sipilisasi dan netralitas TNI dalam sistem pemerintahan demokratis.

SETARA Institute Soroti Tiga Dampak Serius

Menanggapi situasi ini, SETARA Institute memberikan tiga catatan penting:

1. Preseden Kemunduran Reformasi GandaPenempatan Letjen Novi di Bulog dan pengembalian status aktifnya setelah menjabat sebagai pimpinan BUMN dinilai sebagai kemunduran ganda dalam reformasi TNI. Ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU TNI mengatur bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil jika telah pensiun. Dengan mengembalikannya ke status aktif, proses reformasi seperti netralitas TNI dan regenerasi di tubuh militer terancam terganggu.

2. Penafsiran Keliru dan Potensi Pelanggaran HukumPernyataan Kapuspen TNI bahwa Letjen Novi menjalankan tugas atas penugasan TNI dapat berpotensi melanggar UU TNI. Jika Letjen Novi memang belum pensiun saat menjabat Dirut Bulog, maka hal ini menjadi bentuk ketidakpatuhan terhadap aturan dan memperkuat kesan campur tangan militer dalam ranah sipil.

3. Perlu Evaluasi Serius Terhadap Penempatan Prajurit di Jabatan SipilAlasan kebutuhan organisasi yang disampaikan sebagai dasar pengembalian status aktif Letjen Novi justru menjadi panggilan untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Pasal 11 UU TNI menegaskan bahwa postur dan sumber daya TNI disiapkan untuk menghadapi ancaman militer, bukan untuk penempatan di lembaga sipil seperti BUMN.

Reformasi TNI Butuh Konsistensi, Bukan Simbolisme

Kasus Letjen Novi Helmy membuka kembali wacana pentingnya penguatan kembali agenda reformasi TNI secara substansial. Dukungan terhadap kebijakan pemerintah tidak semestinya mengabaikan rambu-rambu hukum yang mengatur batas-batas peran militer dalam kehidupan sipil. Di tengah dinamika demokrasi dan supremasi sipil, setiap langkah institusi militer semestinya tetap berada dalam koridor Undang-Undang, bukan berdasarkan tafsir internal semata.

Evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan regresif ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Panglima TNI, tetapi juga Presiden sebagai kepala negara dan pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan bersenjata. Reformasi sejati membutuhkan konsistensi, bukan sekadar simbolisme loyalitas dalam rilis yang diterima media ini, Sabtu (5/7/2025).

 

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru