Selasa, 30 Desember 2025

RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Dinilai Ancam Demokrasi, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Peran TNI sebagai Penyidik


  • Jumat, 03 Oktober 2025 | 23:00
  • | News
 RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Dinilai Ancam Demokrasi, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Peran TNI sebagai Penyidik Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang baru saja dirampungkan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM untuk diajukan ke DPR sebagai prioritas legislasi 2026. (Foto: Istimewa)

JAKARTA, ARAHKITA.COM – Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti draf Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang baru saja dirampungkan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM untuk diajukan ke DPR sebagai prioritas legislasi 2026. Meski terdapat sejumlah perubahan dari naskah 2019 maupun dokumen awal 2024, koalisi menilai substansi RUU ini masih menyimpan banyak masalah yang berpotensi mengancam demokrasi dan negara hukum.

Koalisi menilai perumusan tujuan RUU KKS masih menitikberatkan pada kepentingan negara (state centric), sementara aspek perlindungan individu nyaris absen. Padahal, regulasi keamanan siber seharusnya berorientasi pada perlindungan perangkat, jaringan, dan warga negara sebagai korban langsung serangan siber.

Selain itu, RUU KKS juga dinilai mencampuradukkan antara kebijakan keamanan siber dan kejahatan siber. Hal ini tampak dari pengaturan tindak pidana baru pada Pasal 58 hingga 60, serta ancaman pidana dalam Pasal 61 sampai 64. Menurut koalisi, legislasi keamanan siber seharusnya berfokus pada pendekatan teknis untuk melindungi sistem komputer, sementara kriminalisasi peretasan dan akses ilegal seharusnya diatur dalam regulasi tersendiri.

RUU ini juga memperkenalkan pasal mengenai “makar di ruang siber” dengan ancaman pidana hingga 20 tahun penjara apabila serangan siber dinilai mengancam kedaulatan negara. Rumusan tersebut dianggap terlalu luas dan berisiko disalahgunakan.

Yang paling disorot, Koalisi menilai keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d, bertentangan dengan konstitusi. Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 menyatakan TNI bertugas mempertahankan kedaulatan negara, bukan menjalankan fungsi penegakan hukum.

“Pelibatan TNI dalam penyidikan justru membuka ruang militerisasi ruang siber dan mengikis prinsip civilian supremacy. Hal ini jelas mengancam kebebasan sipil dan demokrasi,” tulis pernyataan bersama koalisi diterima media ini, Jumat (3/10/2025).

Koalisi juga menilai rumusan pasal tersebut semakin memperbesar peluang penyalahgunaan wewenang. Saat ini, belum ada pembaruan terhadap UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sehingga pelanggaran pidana oleh anggota TNI tetap diproses di peradilan militer. Kondisi ini berpotensi menutup mekanisme akuntabilitas yang adil dan transparan bagi publik.

Koalisi menegaskan, alih-alih memperkuat sistem keamanan siber nasional, RUU ini justru membuka jalan bagi militerisasi dan pelemahan demokrasi.

Pernyataan sikap yang dirilis Jumat 3 Oktober 2025 ini disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure. Koalisi menegaskan penolakannya terhadap pasal-pasal bermasalah dalam RUU KKS, dengan narahubung antara lain Wahyudi Djafar (Raksha Initiatives), Al Araf (Centra Initiative), Ardimanto Adiputra (Imparsial), serta Bhatara Ibnu Reza (De Jure).

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

News Terbaru