Loading
Seorang warga melintasi bangkai gajah sumatera yang ditemukan mati di daerah bencana banjir di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Sabtu (29/11/2025). ANTARA/FB Anggoro
BANDA ACEH, ARAHKITA.COM — Gelombang banjir dan longsor yang melanda Aceh sejak 18 November 2025 memicu seruan tegas dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh. Organisasi ini meminta pemerintah pusat serta daerah mengambil langkah nyata melalui restorasi ekologis dan pemulihan alam setelah bencana hidrometeorologi merusak belasan wilayah dalam beberapa hari terakhir.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menilai bencana tersebut bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem, namun cermin dari menurunnya daya dukung alam akibat tekanan aktivitas manusia. “Kerusakan lingkungan sudah terlalu berat. Jika tidak segera dipulihkan, bencana seperti ini akan terus terulang,” ujarnya di Banda Aceh, Sabtu (29/11/2025).
Dampak Banjir & Longsor Aceh
Menurut data BNPB, bencana di Aceh telah menyentuh 16 dari 23 kabupaten/kota, menelan sedikitnya 35 korban jiwa, 25 orang hilang, delapan terluka, dan 4.846 keluarga mengungsi. Dengan beberapa daerah masih terisolasi, angka ini diperkirakan belum final.
Shalihin menilai rangkaian bencana ini merupakan akibat dari kebijakan yang terlalu longgar terhadap eksploitasi sumber daya alam, terutama deforestasi, ekspansi sawit, pertambangan, dan aktivitas PETI (Pertambangan Emas Tanpa Izin). Kondisi tersebut membuat hutan kehilangan fungsi sebagai penyangga ekologis.
Baca juga:
WALHI Desak Pemerintah Pulihkan Alam Aceh Pascabanjir: Deforestasi & Tambang Disebut Akar MasalahKerusakan DAS Jadi Titik Kritis
Pantauan WALHI menunjukkan kerusakan paling signifikan terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS), terutama DAS Krueng Peusangan yang memicu banjir di Aceh Utara dan Bireuen. Pembukaan jalan baru, pembalakan liar, serta konsesi perkebunan dan tambang disebut mempercepat hilangnya vegetasi penahan air.
Sedimentasi sungai yang semakin parah akibat galian C juga membuat aliran air cepat meluap saat hujan turun. “Sungai kita sudah tidak mampu menampung air. Begitu curah hujan tinggi, banjir langsung menerjang permukiman,” kata Shalihin lagi dikutip Antara.
Dalam dua tahun terakhir, WALHI juga mencatat 99% lokasi PETI berada di kawasan DAS, membuat tanah semakin labil dan mudah longsor. Sungai yang keruh akibat limbah tambang memperburuk rusaknya ekosistem hulu.
Seruan untuk Pemulihan Lingkungan
WALHI menekankan perlunya restorasi ekologis menyeluruh, terutama pada wilayah hulu dan DAS yang menjadi titik awal kerusakan. Audit perizinan yang berpotensi merusak lingkungan juga didorong untuk segera dilakukan.
“Pemerintah perlu memberi ruang bagi masyarakat mukim untuk terlibat dalam tata kelola lingkungan. Pemulihan alam harus menjadi prioritas,” tutup Shalihin.