Loading
Pembatalan Misa Natal 2025 di Wisma Sahabat Yesus Depok menuai kritik. Aktivis HAM menilai negara abai melindungi kebebasan beribadah warga. (Foto: Istimewa)
DEPOK, ARAHKITA.COM – Polemik pembatalan Misa Natal 2025 di Wisma Sahabat Yesus (WSY), Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, kembali membuka perdebatan lama soal jaminan kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia. Keputusan penghentian ibadah yang disebut-sebut demi “kondusivitas lingkungan” justru memantik kritik tajam dari aktivis hak asasi manusia dan masyarakat sipil.
Pembatalan Misa Natal tersebut diputuskan melalui musyawarah yang melibatkan unsur kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat keamanan, serta pengelola WSY pada Selasa (23/12/2025). Alasan utama yang dikemukakan adalah persoalan perizinan dan kekhawatiran terhadap situasi keamanan lingkungan.
Namun, dalih itu dinilai problematik karena menyentuh wilayah hak dasar warga negara. Aktivis dan pendiri Pergerakan Indonesia untuk Keadilan dan Aspirasi Rakyat (PILAR), Hotman Samosir, menilai pembatalan ibadah tersebut sebagai bukti kegagalan pemerintah daerah dalam menjamin kebebasan beragama.
Menurut Hotman, kebebasan menjalankan ibadah bukan hak yang bisa dinegosiasikan melalui kesepakatan sosial, apalagi tunduk pada tekanan kelompok tertentu. Ia menegaskan bahwa hak beribadah dijamin secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2).
“Alasan menjaga keamanan justru terdengar prematur dan tidak rasional. Negara seolah membiarkan hak warganya dirampas atas nama ketertiban semu,” ujar Hotman dalam keterangannya, Kamis (25/12/2025).
Ia juga mempertanyakan legitimasi musyawarah yang dijadikan dasar pembatalan Misa Natal di WSY. Menurutnya, kesepakatan yang lahir dari relasi kuasa yang timpang tidak dapat disebut sebagai kesepakatan yang sah secara moral maupun hukum.
Lebih jauh, Hotman mengingatkan bahwa praktik pembatasan ibadah bertentangan dengan berbagai regulasi nasional dan internasional, termasuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang mengesahkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Dalam kovenan tersebut, hak untuk beribadah, baik secara pribadi maupun kolektif, merupakan hak fundamental yang tidak boleh dibatasi secara sewenang-wenang.
Sementara itu, Wali Kota Depok Supian Suri menyatakan telah turun langsung untuk mendalami persoalan tersebut. Ia mengonfirmasi bahwa telah terjadi musyawarah antara pihak wisma, warga sekitar, dan aparat kelurahan.
“Informasi yang kami terima, telah ada kesepakatan antara pihak wisma dan lingkungan sekitar. Pihak Wisma memutuskan untuk tidak melaksanakan misa di lokasi tersebut,” ujar Supian Suri.
Ia menambahkan bahwa Wisma Sahabat Yesus sejatinya merupakan tempat tinggal mahasiswa dan mahasiswi, dengan aktivitas pembinaan rohani yang bersifat internal. Rencana Misa Natal, menurutnya, bukan kegiatan rutin sehingga perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan lingkungan sekitar.
Meski demikian, keputusan tersebut tetap menuai sorotan karena dinilai memperlihatkan lemahnya kehadiran negara dalam melindungi hak minoritas. Hotman Samosir menegaskan, jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka akan menjadi preseden berbahaya yang berpotensi menyebar ke daerah lain.
“Indonesia adalah negara hukum, bukan negara mayoritas. Semua warga negara harus diperlakukan setara tanpa diskriminasi,” tegasnya.
Ia pun mendesak Presiden Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, serta jajaran aparat keamanan untuk mengambil langkah tegas dan konkret dalam menjamin kebebasan beribadah bagi seluruh warga negara.
Kasus pembatalan Misa Natal di WSY Depok menjadi pengingat bahwa perjuangan menegakkan kebebasan beragama di Indonesia belum selesai. Negara dan aparat dituntut hadir secara aktif, bukan sekadar menjadi penonton ketika hak konstitusional warganya dipertaruhkan.