Loading
Muslim Cyber Army (MCA) (Portal Islam)
JAKARTA, ARAHKITA.COM - Pakar Komunikasi dari Universitas Indonesia Dr Irwansyah mengatakan keberadaan Muslim Cyber Army (MCA) merupakan salah satu fenomena yang berkembang seiring dengan menguatnya keyakinan seseorang dan komunitas tertentu.
"MCA merupakan bagian dari fenomena menguatnya keyakinan seseorang dan komunitas tertentu dalam masyarakat yang saling terhubung dengan teknologi media berjaringan yang semakin personal," ujar Irwansyah kepada Antara di Jakarta, Jumat (3/3/2018).
Menariknya, kata dia, karena Indonesia pada 2019 akan menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pilpres, maka dalam kurun waktu 2018 dan 2019 ini diperkirakan akan kental dengan politisasi agama.
"Hal ini karena aktor, media saluran komunikasi, dan pesan (yang bersifat politik) mudah diarahkan dan mengarah kepada kawan dan lawan politik dalam menuju instabilitas pertahanan dan keamanan," jelas dia.
Akan tetapi hal itu berakibat pada dunia investasi dan akan membuat investor menjadi ragu dalam mempercayai Indonesia dalam dua tahun ke depan.
"Oleh karenanya dibutuhkan kearifan setiap kelompok dan pemangku kepentingan dalam mengantisipasi dan beradaptasi dalam perubahan yang sangat dinamis. Ada baiknya karena masih sesama warga negara dirangkul utk membangun kesejahteraan bersama," imbuh dia.
Sebelumnya, pihak kepolisian Indonesia menangkap sedikitnya lima orang yang tergabung dalam grup percakapan "Whatsapp" MCA. Kelima tersangka tersebut ditangkap di daerah berbeda yakni di Tanjung Priok (Jakarta Utara), Pangkal Pinang, Bali, Sumedang dan Palu.
Berdasarkan barang bukti yang diperoleh Polri, kelompok MCA diduga menyebarkan isu provokatif dan kabar bohong terkait isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), melalui jaringan komunikasi 'Whatsapp'.
Tiga TingkatanDr Irwansyah menjelaskan untuk memahami keberadaan Muslim Cyber Army (MCA) maka hal itu dapat melalui tiga tingkatan.
"Untuk memahami MCA ini, bisa dilihat dari tiga tingkatan yakni makro, meso dan mikro," ujar Irwansyah seperti dikutip dari Antara.
Irwansyah menjelaskan pada tingkatan makro, terjadi penguatan Islam dan berkembangnya media baru atau media sosial global yang merupakan simbiosis dari agenda pemangku kepentingan yang terakomodasi dengan baik.
Atau dengan kata lain, Islam semakin menguat dan media sosial menjamur. Sehingga aktor yang berkepentingan pada akhirnya memperluas agenda dengan mudah melalui media baru.
Sementara, pada level meso atau menengah, Islam dan media sosial memiliki karakter yang berjaringan sehingga terjadi sinergi dalam aktivitas dan pola penyebaran pesan komunikasinya.
"Perantara antaraktor yang terfasilitasi dalam jaringan organisasi Islam dan media sosial, maka jaringan memperkuat isu-isu Islam yang mudah dikemas dalam berbagai kepentingan. Tidak hanya politik tetapi juga dalam penguatan komunitas luar jaringan maupun dalam jaringan baik secara ekonomi, sosial dan budaya," jelas Irwansyah yang juga lulusan University of Hawaii at Manoa tersebut.
Sedangkan pada level mikro, tambah dia, individu dengan mudahnya mengemas pesan baik ideologi apa pun untuk dikapitalisasi dalam teori penawaran dan permintaan.
"Pesan yang dimanipulasi, dimodifikasi, atau dikomodifikasi yang bersifat hoax adalah permainan untuk menciptakan kericuhan, atau lebih mudahnya adalah peluang untuk menciptakan anti kemapanan seperti kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan). Sehingga setiap orang akan mencari atau membangun kelompoknya untuk mencari perlindungan terhadap keyakinan dan kepercayaannya tersebut," terang dia .