Kamis, 07 Agustus 2025

Ketika Bendera One Piece Menjadi Ancaman


 Ketika Bendera One Piece Menjadi Ancaman Ilustrasi-Pengibaran bendera Jolly Roger dalam demonstrasi mahasiswa tak disangka ternyata memantik reaksi keras aparat keamanan. (Net)

Oleh: Dr. Eko Wahyuanto

PENGIBARAN bendera Jolly Roger dalam demonstrasi mahasiswa tak disangka ternyata memantik reaksi keras aparat keamanan. Bendera simbol kelompok bajak laut dalam serial One Piece itu dalam sekejap berubah menjadi “ancaman ideologis” yang dianggap perlu ditangani secara represif.

Di titik inilah, kita sebagai bangsa demokratis diuji. Ketika imajinasi fiksi dianggap membahayakan negara, maka simbol berubah menjadi ancaman mengerikan yang dianggap mengotori sistem demokrasi kita. Bangunan demokrasi pun mulai rapuh menampung perbedaan.

Simbol dalam demonstrasi selalu hadir sebagai bentuk satire dan kritik, baik di ruang nyata maupun dunia maya. Dalam banyak negara demokratis, ruang publik atau public space seperti ini dirawat dan dihormati sebagai bagian dari ekspresi politik.

Namun, di Indonesia pasca-Pemilu 2024, ruang itu justru kian menyempit. Tindakan terhadap mahasiswa pengibar bendera One Piece menandakan kecemasan terhadap pesan simbolik yang dibaca sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi yang sedang berjalan.

Padahal, jika kita menengok ke atas panggung kekuasaan, sinyal rekonsiliasi tengah digencarkan oleh Prabowo Subianto. Sejak terpilih sebagai presiden, Prabowo menggulirkan narasi “politik tanpa dendam” dan menyatakan akan merangkul semua elemen anak bangsa. Rekonsiliasi yang digagas tentu bukan hanya dalam orbit elite dan koalisi politik semata, melainkan juga bagi pengisi ruang ekspresi secara adil.

Ajakan untuk mengibarkan bendera bajak laut ini juga ramai di media sosial menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Prabowo seperti dikutip Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan tidak mempermasalahkan aksi tersebut sebagai bagian dari ekspresi kreativitas, selama tidak disandingkan atau dipertentangkan dengan bendera Merah Putih sebagai simbol negara.

UU No. 24 Tahun 2009 yang mewajibkan pengibaran bendera Merah Putih pada HUT RI juga tidak secara eksplisit melarang pengibaran bendera lain, selama tidak lebih tinggi atau dominan dibanding Merah Putih.

Hambatan Rekonsiliasi

Kata rekonsiliasi makin menggema setelah Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi terhadap dua tokoh, Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong.

Sebelumnya sikap rekonsiliatif ini ditunjukkan dengan merangkul lawan politiknya dalam lingkaran kekuasaan yang ia pimpin. Memberi posisi penting kepada seniornya Wiranto dan Agum Gumelar yang pernah berseberangan, adalah contoh nyata bahwa Prabowo sedang serius membangun persatuan dan melupakan sejarah kelam masa lalu. Para aktivis 98 yang diduga punya catatan kuat dalam perjalanan karir seorang Prabowo juga telah dipanggil untuk bersama-sama berada dalam pemerintahan.

Ini adalah sikap konkrit seorang presiden yang punya cita-cita membangun bangsa bermartabat jauh dari dendam dan kebencian. Dalam konteks inilah, tindakan represif terhadap simbol One Piece bukan hanya keliru, tapi kontraproduktif terhadap semangat rekonsiliasi itu.

Dengan sikap seperti itu, dikhawatirkan narasi rekonsiliasi justru akan kehilangan maknanya, sebab di saat yang sama ada upaya memenjarakan kritik simbolik yang datang dari rakyatnya. Jangan sampai demokrasi diukur hanya dari pidato dan gestur elite, tetapi gagal menjamin freedom of expression atau hak berekspresi mereka di jalanan.

Karena jika demokrasi hanya sanggup menampung suara yang seirama dengan kekuasaan, maka demokrasi itu sendiri tengah menghadapi krisis eksistensial.

Ke depan, kita perlu memastikan bahwa rekonsiliasi politik tidak berhenti pada akomodasi elite, tetapi juga menjamin ruang aman bagi publik untuk bersuara, bahkan melalui simbol-simbol yang tak lazim.

Rekonsiliasi tanpa keadilan dan ruang publik yang terbuka berisiko menjadi kosmetik politik belaka. Demokrasi bukan hanya soal elite yang saling memaafkan, tetapi juga tentang keberanian negara memberi ruang bagi suara warganya, termasuk lewat bendera, kritik, dan simbol.

Peran Tim Komunikasi PresidenDi sinilah penting adanya strategi komunikasi yang dapat menuliskan reaksi dari setiap bentuk kritik yang “sopan” dan tidak mengganggu estetika kekuasaan. Tim komunikasi pemerintah yang dimotori Kantor Komunikasi Kepresidenan harus mampu membangun setiap narasi agar ekosistem demokrasi tak kehilangan maknanya.

Ingat, pasca-Pemilu 2024 politik akomodasi tampil menonjol. Oposisi dirangkul, koalisi diperluas, dan gestur damai dijadikan panggung utama. Jangan sampai rekonsiliasi hanya terjadi di antara elite. Itu tidak cukup.

Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang hidup bagi masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, aktivis, dan komunitas kreatif, untuk menyuarakan ketidakpuasan tanpa rasa takut.

Jika negara ingin sungguh-sungguh berdamai dengan masa lalu dan membuka lembaran baru, maka rekonsiliasi harus dimaknai lebih luas: bukan hanya sebagai kompromi politik, tetapi juga keberanian mendengar suara-suara dari bawah, bahkan jika suara itu datang dalam bentuk satire, ironi, atau bendera bajak laut.

Langit demokrasi kita mungkin sedang berawan, tetapi masih ada harapan. Dengan menjamin kebebasan berekspresi dan membuka ruang kritik, bangsa ini bisa melangkah menuju rekonsiliasi yang lebih otentik; rekonsiliasi yang lahir bukan dari panggung kekuasaan, melainkan dari keberanian menerima perbedaan.

Ini harus dinarasikan Tim Komunikasi Presiden dalam ruang damai tanpa intimidasi apalagi tindakan kekerasan.

*) Dr. Eko Wahyuanto adalah Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Komdigi Yogyakarta

 

Editor : Farida Denura
Penulis : Dr. Eko Wahyuanto

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Suara Kita Terbaru