Loading
Ritual adat budaya Dayak untuk tolak bala di daerah Bukit Kelam,Sintang,Kalbar. (Foto: Istimewa)
Oleh: Simply Yuvenalis, STF
BENCANA wabah penyakit karena virus corona, sudah menyerang berbagai negara dunia, dan mengakibatkan korban nyawa puluhan ribu, yang terinfeksi dan sedang dirawat ratusan ribu di berbagai rumah sakit dan tempat penampungan. Para medis pun kewalahan bahkan banyak yang menjadi korban, sedangkan obat yang ampuh sedangkan diperjuangkan oleh berbagai ahlinya, agar bisa menyelamatkan nyawa pasien. Berbagai upaya serius dilakukan pihak pemerintah masing-masing negara dibantu oleh banyak lembaga sosial dan donatur. Masing-masing negara mempunyai kondisi yang berbeda, termasuk di negara kita Indonesia.
Pemerintah pusat telah mengambil kebijakan untuk menghadapi wabah virus ini, sekaligus dampaknya terhadap berbagai bidang kehidupan lainnya. Tujuan utamanya adalah menjamin keselamatan nyawa segenap rakyat, mencegah penyebaran wabah virus dan mengobati mereka yang sudah terserang secara maksimal agar pulih dan selamat.
Baca juga:
Virus PHKDi tengah upaya serius pemerintah, juga lembaga sosial dan para relawan serta donatur, memang masih ada juga suara sumbang yang memaksakan kehendak agar mengikuti pertimbangannya; yang diyakini paling efektif dan mujarab. Yang agak memprihatinkan adalah mereka yang berpendidikan dan dianggap tokoh masyarakat, ada yang menggunakan momen bencana penyakit ini untuk menyebar berita negatif, hoaks dan iri dengki dendam karena berbeda sikap politik dengan pemerintah. Salah satu yang terlihat di media sosial adalah ujaran kebencian di media sosial sehubungan dengan wafatnya ibunda Presiden Jokowi. Kiranya sudah ditangani pihak berwenang dan tidak terulang lagi, karena tidak sesuai dengan etika bangsa kita dan ideologi negara kita Pancasila.
Sebaliknya ada inisiatif yang ‘istimewa’ dari komunitas adat budaya yang tersebar di seluruh tanah air Indonesia, bumi Nusantara tercinta. Rupaya selain upaya medis, kebijakan negara, kegiatan solidaritas sosial kemanusiaan, bangsa kita memiliki kekuatan spiritual dalam agama dan adat budaya. Bidang agama, melakukan doa sesuai agama masing-masing, baik secara pribadi, keluarga dan dalam kelompok terbatas, karena ada aturan menjaga jarak sosial dalam jumlah yang besar. Komunitas adat budaya, melakukan ritual menolak bala bencana alam dan wabah penyakit, sesuai adat budaya dalam masing-masing komunitas. Dari publikasi media yang saya baca selama tiga minggu terakhir sampai awal April 2020, telah dilakukan doa–ritual adat budaya di banyak komunitas. Inti dari doa–ritual adat budaya itu adalah memohon perlindungan dan keselamatan dari Sang Pencipta serta menghalau bala bencana penyakit virus yang sudah memakan ribuan korban di berbagai negara di dunia.
Ritual Tada Hera untuk mengusir virus corona. (Foto: FB Lorens Lepo)
Ternyata masyarakat dan warga negara Indonesia, yang berbasis aneka suku–adat budaya di Nusatara ini, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Ideologi Pancasila, mempunyai sebuah kekuatan kultur spiritual, warisan kearifan adat budaya adhiluhung, bahwa: selain kemampuan pikiran manusia dalam mengatasi persoalan yang mengancam kehidupan, harus diandalkan juga kekuatan spiritual.
Seperti membangun bangsa ini pun, kita memiliki prinsip membangun jiwanya–membangun badannya, maka sudah sepantasnya menghadapi bencana alam dan ancaman wabah penyakit pun, kita menggunakan kekuatan badan, pikiran, moralitas dan juga spiritual. Inilah kekuatan bangsa negara kita, yang dijaga secara turun temurun dalam khasanah adat budaya. Ada komunitas adat budaya yang sudah melakukannya dan dipublikasi, tetapi banyak juga yang melakukan doa–ritual adat budaya secara diam tanpa publikasi; baik secara komunal maupun kelompok kecil atau pribadi - pribadi.
Dari informasi yang saya dapatkan, sudah dilakukan doa–ritual adat budaya di Maluku, Flobamora–NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Tatar Sunda–Jawa Barat, Dayak– Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Ada kelompok terbatas dan pribadi paranormal, pertapa, rahib, juga para sesepuh adat budaya melakukannya dengan diam dan hening. Menurut penjelasan yang diperoleh, bahwa dalam doa–ritual adat budaya di masing-masing komunitas, berbagai sesajen penolak bala digunakan, sesajen untuk para arwah leluhur dipersembahkan dan sekaligus sesaji sembah kepada Sang Hyang Penguasa Bumi Langit–Tuhan Yang Maha Esa. Para arwah leuhur dimohon untuk menghantar segala doa permohonan kepada Sang Penguasa Bumi dan Langit, agar mengenyahkan wabah pengakit dan bencana alam, menyembuhkan yang terserang wabah, menerima arwah mereka yang sudah menjadi korban, dan memberi keselamatan bagi yang masih hidup. Dalam bagian doa–ritual adat budaya, yang terutama diungkapkan adalah permohonan ampun atas salah dosa pribadi dan dosa komunal. Datangnya serangan wabah penyakit dan bencana alam sering dihubungkan dengan “salah dan dosa” yang telah kita perbuat.
Ritual adat di Istana Raja Larantuka bersama tokoh adat Lewotana - Lewi Pulo Suku Lema. (Foto: Istimewa)
Dari perspektif adat budaya, ternyata adanya ancaman wabah penyakit dan bencana alam diyakini sangat erat hubungannya dengan salah dan dosa yang kita perbuat, entah pribadi maupun secara komunal atau mondial. Ketidakselarasan, dis-harmoni antar sesama, antar manusia dengan alam ciptaan, dan pada gilirannya dis-harmoni manusia dengan Sang Maha Pencipta manusia dan alam semesta. Ada petuah menarik dari kearifan lokal bahwa: “manusia perlu menyadari bahwa, manusia sebagai alam kecil–mikro kosmos, yang berasal dari makro-kosmos yang menjadi asal-usulnya. Manusia terlahir dari sesamanya dan dilahirkan untuk sesamanya, karena saling melengkapi dan saling membutuhkan. Makanya, setiap pribadi unik dan berbeda, tetapi sungguh makluk sosial. Hal berikut yang lebih mendasr adalah manusia tergantung mutlak pada alam semesta lingkungan hidupnya. Tanpa alam lingkungan, manusia mati dan punah. Tetapi tanpa manusia, alam lingkungan tetap lestari berjalan dengan hukumnya. Manusia hidup di alam lingkungan, mengelola dan tergantung mutlak dengan alam lingkungan, harus selalu menyadari ketergantungannya.”
Kearifan lokal dalam khasanan adat–budaya di tanah air Indonesia, mengingatkan akan mutlaknya mengandalkan kekuatan spiritual, di samping kecangggihan pikiran dan kekuatan tubuh manusia. Fakta zaman now, yang dalam ramalan Jayabaya disebut zaman edan, mengisyaratkan banyak fenomena bahwa manusia semakin tidak peduli dengan sesamanya, manusia merasa “super” dengan kecanggihan teknologinya, manusia semakin brutal mengeksploitasi sumber daya alam sambil membuang limbah beracun yang merusak lingkungan. Bahkan ada indikasi sekelompok kecil manusia yang mau menjadi penguasa dunia dan alam semseta dengan kecanggihan teknologinya dan keuangannya.
Mereka mau memonopoli semua sumber daya alam, sumber keuangan dan kekuasaan dengan kemampuan teknologi digital di berbagai bidang. Jika indikasi ini benar, termasuk disinyalir adanya pengembangan senjata biologis, termasuk virus yang mewabah sekarang, maka hanya dengan kekuatan spiritual-lah, yang diwariskan secara adat budaya oleh leluhur kita, bangsa ini bisa bertahan dan beranak-cucu di wilayah NKRI. Para leluhur telah membuktikannya, dan bangsa kita dengan keanekaragaman adat budaya masih menghidupinya hingga sekarang.
Semoga kekuatan kearifan adat budaya, khusunya kekuatan moral dan spiritualnya, yang diwariskan para leluhur, sungguh diandalkan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara; baik untuk membangun mewujudkan cita-cita Proklamasi, maupun menghadapi musuh dari luar, tantangan zaman, serta bencana alam dan wabah penyakit. Salam hormat dan terimakasih kepada segenap pemangku adat budaya, paranormal, komunitas spiritual, para rahib dan pertapa, para sesepuh suci dan sakti di berbagai wilayah adat budaya Nusantara di tanah air Indonesia; yang berdoa dan melakukan ritual adat budaya untuk keselamatan bangsa dan negara Indonesia, dari bencana alam dan wabah penyakit.
Ke depan, diharapkan agar kebijakan anggaran pembangunan, tidak melupakan pentinganya mendukung perawatan khasanah adat budaya, jaminan peran-serta pemangku adat budaya dan spiritual dalam penggunaan dan pengelolaan alam lingkungan, memprhatikan hukum adat, serta mengakomodir konsep tata kelola ruang dan sumber daya alam secara adat budaya dalam penetapan aturan tata ruang dan wilayah oleh pemerintah Pusat sampai daerah dan desa. Semoga.
Penulis adalah Pemerhati Budaya, HAM dan Anggota Assosiasi Tradisi Lisan