Loading
Pemerhati masalah Budaya dan HAM, Simply Yuvenalis. (Foto: Istimewa)
Oleh: Simply Yuvenalis
ADA fakta yang terjadi seminggu terakir ini di Indonesia. Ungkapan Pemerintah bahwa kita harus berdamai dengan COVID-19, karena virus ini tidak akan hilang secepatnya. Juga pengumuman WHO yang dilansir media massa, mengatakan bahwa COVID-19 tidak akan hilang, bahkan ada perkembangan ke versi barunya. Sekarang, mulai ada pelonggaran PSBB, sehingga mall dan tempat belanja mulai dibuka, pasar ramai, roda ekonomi mulai berputar, aktivitas kantor dan sekolah dimulai lagi. Semua tetap dihimbau menjaga kesehatan, jaga jarak aman, dan peduli sosial. Semua ini demi menjamin kelangsungan hidup setiap pribadi dan keluarga, serta bangsa ini pun perlu berjalan maju.
Di lain pihak, fakta di bidang medis, dinyatakan bahwa dokter perawat kewalahan dan kelelahan, bahkan korban nyawa terus bertambah. Mereka kewalahan dan kelelahan karena jumlah mereka sangat terbatas dibandig pasien terpapar COVID-19 yang semakin meningkat jumlahnya sepekan terakir. Apalagi peralatan medis semakin menipis. Agak miris pula, jaminan kesejahteraan para medis, juga belum memadai. Termasuk janji adanya "insentif khusus' dalam pengabdian memerangi pandemi COVID-19 ini tak kunjung terealisasi.
Inilah fakta paradoks antara pandemi COVID-19 yang belum teratasi, dengan tenaga medis yang kewalahan dibanding pasien yang semakin bertambah, dengan fakta di lain pihak aktivitas normal untuk menjamin kebutuhan kehidupan keluarga, kegiatan kantor, pendidikan, transportasi yang juga dibutuhkan untuk kehidupan pun mulai kembali berjalan.
Karena itu, pernyataan kita harus berdamai dengan COVID-19, lalu menjaga kesehatan, memang sebuah himbauan dan kebutuhan realistik. Akan tetapi, tetap tinggal di rumah terus demi kesehatan, ternyata tidak bisa dilakukan oleh semua pihak, karena keterdesakan kebutuhan berbagai segi kehidupan. Kesehatan adalah kebutuhan mutlak, tapi untuk hidup sehat harus kerja dan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pokok dan lainnya. Ini adalah fakta, baik di kota maupun di desa.
Baca juga:
Virus PHKSementara, ungkapan #Indonesia Berpasrah# yang ditulis seorang dokter, dr. Fatimah Radih, MKes, juga adalah fakta yang perlu disadari serta harus segera disikapi secara bijaksana oleh kita semua. Para tenaga medis yang sangat kita andalkan, membutuhkan dukungan moril dan materil, agar bisa bertugas maksimal melayani pasien. Mereka juga bukan robot, tetapi bekerja demi hidupnya dan keluarganya.
Jadi, harus dijamin maksimal keamanan dan kebutuhannya, sehingga mereka dapat menjalankan tugas pengabdian dengan baik dan maksimal. Kita harapkan hak-hak petugas medis dijamin bahkan diberi insentif tambahan, juga peralatan kerja dilengkapi dan dijamin ketersediaannya. Sedangkan, soal jumlah pasien yang semakin bertambah, harus dicatat dan dilpahami secara prinsip juga, bahwa tidak ada seorang pun manusia normal yang mencari dan mau diserang COVID-19 atau penyakit lain.
Soal menjaga kesehatan, pasti semua sepakat, tetapi kemampuan dan kesadaran masih bervariatif. Ada yang beralasan pragmatis, pasrah saja-mati hidup di tangan Allah. Alasannya, karena tenaga medis saja bisa mati, mereka yang bergizi dan hidup bersih juga bisa terkena Covid19, sedangkan pemulung dan pedagang asongan sehat-sehat saja. Artinya tidak ada alat dan cara yang menjadi jaminan pasti soal menghadapi serangan virus Corona. Pilihan yang paling mungkin adalah "berpasrah hidup" kepada Allah Sang pemilik kehidupan.
Ada kesan semacam keputusasaan, tetapi pantas dicatat, bahwa pandemi COVID-19 melahirkan beberapa hal baru berikut:
- Kesadaran akan keterbatasan kemampuan manusia untuk menjaga kehidupannya dengan berbagai kehebatan pikiran serta peralatan ciptaannya, semakin besar saat ini.
- Kesombongan manusia di depan sesama, alam dan Pencipta harus segera dihentikan sungguh menjadi kebutuhan mendesak.
- Semakin disadari bahwa alam semesta yang menopang kelangsungan hidup manusia, menuntut dipakai secara bijaksana dan bertanggungjawab, agar manusia bisa terus didukung. Manusia yang bergantung mutlak pada alam semesta, bukan sebaliknya.
- Ada banyak nilai kemanusiaan yang selama ini diabaikan, kembali disadari dan diaktifkan, yakni kehidupan bermula dan berakir di rumah dengan sumber serta benteng utama yakni keluarga.
- Diatas segalanya, ada dimensi spiritual, yang semakin kuat kesadaran akan kuasa Sang Maha Pencipta, yang Maha Dasyat dan Maha Misteri, semakin tumbah dalam diri manusia. Hidup dan mati tidak sepenuhnya bisa diatur manusia dengan harta dan kepintarannya. Manusia dituntut kembali kepada hakekat dirinya, di depan alam semesta dan Sang Maha Pencipta.
Karena itu, pilihannya adalah berdamai dengan pandemi, berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan sesama, berdamai dengan alam semesta, karena kesadaran akan kemutlakan jati diri, yakni hidup berdamai dengan Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dialah pemberi segala ciptaan, kehidupan manusia, dengan perintah dan hukumnya yakni KASIH SAYANG. Kasih sayang kepada sesama seperti kepada diri sendiri dan kasih sayang kepada Allah dengan segenap jiwa raga, yang dinyatakan kepada diri sendiri, sesama dan alam semesta. Kasih sayang yang nyata dalam jiwa, hati nurani, perasaan, pikiran, dengan perkataan dan perbuatan sehari-hari selama hidup. Inilah bentuk "berpasrah dan berdamai" yang hakiki untuk diperjuangkan dan dihayati semua orang. Semoga.
Simply Yuvenalis, Pemerhati Sosial, Budaya dan HAM, Direktur Harmoni Institut.