Loading
Arsip foto - Presiden Prabowo Subianto mengumumkan peraturan pemerintah terkait devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/2/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.
JAKARTA, ARAHKITA.COM — Nilai tukar rupiah kembali berada dalam tekanan pada penutupan perdagangan Rabu (10/12/2025). Rupiah menyentuh posisi Rp16.692 per dolar AS, melemah 16 poin atau 0,10 persen dibandingkan hari sebelumnya.
Menurut Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, pergerakan rupiah kali ini tidak lepas dari respons investor terhadap revisi kebijakan Dana Hasil Ekspor (DHE) yang baru dirilis pemerintah. Revisi tersebut dinilai memberi napas bagi stabilitas pasar valuta asing, namun di saat yang sama memicu penyesuaian strategi di kalangan pelaku pasar.
Josua menjelaskan bahwa salah satu perubahan signifikan dalam aturan baru adalah fleksibilitas bagi eksportir untuk mengonversi hanya 50 persen DHE ke rupiah. Kebijakan ini memberi ruang lebih besar bagi eksportir menjaga likuiditas valas, yang pada akhirnya memengaruhi dinamika pasokan dolar di pasar domestik.
Revisi DHE dituangkan melalui PP No. 8 Tahun 2025, yang terbit pada 17 Februari 2025. Aturan tersebut tidak lagi menekankan kewajiban penempatan DHE Sumber Daya Alam (SDA) secara spesifik di bank-bank Himbara, melainkan lebih luas pada “sistem keuangan Indonesia”.
Dalam pasal 7 ayat (1) dan (2), pemerintah mewajibkan eksportir menempatkan 100 persen DHE SDA dalam rekening khusus (reksus) selama minimal 12 bulan. Meski demikian, ada pengecualian bagi industri minyak dan gas bumi: sektor ini hanya wajib menempatkan 30 persen DHE SDA dalam reksus selama minimal tiga bulan, memberi ruang bisnis yang lebih fleksibel.
Dengan perkembangan tersebut, pasar kini memantau arah kebijakan lebih lanjut dan potensi efek lanjutan terhadap aliran valas. Josua memperkirakan rupiah diperdagangkan dalam kisaran Rp16.625–Rp16.725 per dolar AS sepanjang hari dikutip Antara.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pasar masih mencari keseimbangan setelah penyesuaian kebijakan, sementara faktor eksternal seperti dolar AS dan sentimen global tetap menjadi penggerak utama.