Selasa, 30 Desember 2025

Di Antara Lonceng dan Adzan: Cerita Persahabatan Dua Kota di Dunia


 Di Antara Lonceng dan Adzan: Cerita Persahabatan Dua Kota di Dunia Ilustrasi Cerita Persahabatan Dua Kota di Dunia Foto ChatGPT

GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI

SETIAP kota punya suara khas. Ada yang ditandai oleh dering lonceng dari menara gereja, ada pula yang diwarnai gema adzan dari menara masjid. Namun di dua kota di dua benua berbeda, kedua suara itu tak pernah bersaing — justru berpadu membentuk melodi persahabatan yang langka.

Inilah kisah Sarajevo (Bosnia-Herzegovina) dan Yogyakarta (Indonesia), dua kota dengan sejarah panjang lintas agama yang menjelma simbol harmoni dunia.

Di tengah dunia yang kian mudah retak karena perbedaan, kedua kota ini mengingatkan kita bahwa kerukunan bukan utopia — ia nyata, hidup, dan berdenyut setiap hari di jantung masyarakatnya.

Sarajevo: Lonceng, Adzan, dan Luka yang Menyembuhkan

Sarajevo sering disebut “Yerusalem Eropa” karena di sana gereja Katolik, gereja Ortodoks, masjid, dan sinagoga berdiri berdampingan hanya beberapa langkah jauhnya.

Selama perang Bosnia 1992–1995, kota ini menjadi simbol penderitaan manusia akibat kebencian agama. Namun setelah perang usai, warganya memilih untuk tidak membalas dengan dendam, melainkan dengan dialog dan kolaborasi.

Kini, setiap kali lonceng berbunyi dari Gereja Katedral Hati Kudus Yesus dan gema adzan berkumandang dari Masjid Gazi Husrev-beg, masyarakat Sarajevo mendengarnya sebagai pengingat akan masa lalu dan janji masa depan: bahwa perdamaian hanya tumbuh dari keberanian untuk memaafkan.

Festival lintas iman, pameran budaya, hingga ruang belajar bersama anak muda lintas agama menjadi wajah baru kota itu. Sarajevo bukan lagi kota perang — melainkan kota yang menolak melupakan kemanusiaan.

Yogyakarta: Kehangatan di Tengah Keberagaman

Sementara di Asia Tenggara, Yogyakarta menjadi cermin lain tentang bagaimana harmoni bisa tumbuh dari keseharian.Kota ini bukan hanya dikenal karena seni dan pendidikan, tetapi juga karena sikap terbukanya terhadap perbedaan. Gereja tua di Kotabaru dan masjid di Kauman berdiri tak jauh, dan aktivitas ibadah berjalan berdampingan tanpa gangguan.

Setiap Ramadan, warga non-Muslim ikut membantu menjaga parkir dan keamanan di sekitar masjid. Sementara saat Natal, pemuda Muslim turut menjaga gereja agar perayaan berjalan damai.

Semangat gotong royong ini bukan slogan, melainkan budaya hidup yang diwariskan turun-temurun.

Inilah wajah toleransi khas Indonesia — sederhana, namun kuat dan nyata.

Ketika Dua Kota Bertemu dalam Semangat yang Sama

Sarajevo dan Yogyakarta mungkin terpisah jarak ribuan kilometer, tapi keduanya diikat oleh roh yang sama: keyakinan bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan anugerah.

Keduanya mengajarkan kepada dunia bahwa agama tidak perlu bersaing untuk menjadi benar, karena tujuan akhirnya sama — menghadirkan kebaikan bagi sesama.

Dalam beberapa inisiatif internasional seperti World Interfaith Harmony Week dan City of Tolerance Network, kedua kota ini sering disebut sebagai contoh nyata “harmoni urban” — bagaimana dialog lintas iman bisa hidup tanpa paksaan, dari masyarakat, bukan hanya dari kebijakan pemerintah.

Refleksi: Harmoni Adalah Keberanian untuk Mendengar

Harmoni tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari kesediaan untuk saling mendengar.

Lonceng dan adzan — dua simbol suara yang kerap dipersepsikan berbeda — ternyata bisa menjadi musik yang sama, jika kita mau menundukkan ego dan membuka hati.

Kedua kota ini seolah berbisik kepada dunia:

“Perdamaian bukanlah hasil dari kesamaan, melainkan keberanian untuk hidup dalam perbedaan.”

Dan mungkin, jika lebih banyak kota mau belajar dari Sarajevo dan Yogyakarta, dunia tak lagi dipenuhi gema pertikaian, tetapi nyanyian bersama tentang kemanusiaan.

Global Harmoni: Menghubungkan Nilai, Merawat Perbedaan.

Editor : Farida Denura

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

Global Harmony Terbaru