Loading
Terowongan Silaturahmi, yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta, diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto—menjadi simbol konkret dari persaudaraan dan toleransi antarumat beragama di Indonesia. (Foto: Istimewa)
GLOBAL HARMONY | INTER FIDEI
Oleh: Simply da Flores
DI JANTUNG kota Jakarta, tepat di antara dua rumah ibadah besar—Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta—berdiri sebuah simbol yang lebih dari sekadar infrastruktur. Namanya Terowongan Toleransi. Sebuah jalur bawah tanah yang bukan hanya menghubungkan dua bangunan megah, tetapi juga menyatukan dua keyakinan besar dalam semangat perdamaian dan kemanusiaan.
Mengapa Terowongan Toleransi Dibangun?
Kisahnya berawal dari inisiatif untuk memperkuat dialog antaragama di Indonesia. Terowongan Toleransi menjadi wujud nyata semangat interfidei—persaudaraan lintas iman—yang selama ini tumbuh di tengah masyarakat kita.
Momen paling bersejarah terjadi ketika Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik dunia, berkunjung ke Jakarta. Ia berjalan menyeberang melalui Terowongan Toleransi menuju Masjid Istiqlal, untuk berdialog dengan para tokoh lintas agama. Gambar-gambar kunjungan itu tersebar luas di media sosial, menghadirkan pesan kuat bahwa perbedaan bukan pemisah, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan menghormati.
Jejak Toleransi dari Soekarno hingga Kini
Hubungan harmonis antara Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal sejatinya sudah dirancang sejak masa Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Bung Karno memilih lokasi pembangunan Istiqlal yang berdampingan dengan Katedral bukan tanpa alasan. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang memuliakan perbedaan dan merayakan keberagaman.
Dalam praktik sehari-hari, kedua komunitas ini memberi teladan nyata. Saat umat Katolik merayakan Natal, area parkir Istiqlal dibuka untuk menampung jemaat Katedral. Sebaliknya, pada perayaan Idul Fitri, Gereja Katedral mempersilakan jamaah Istiqlal menggunakan fasilitas yang mereka miliki.
Tidak ada tembok pemisah, yang ada hanyalah rasa saling menghargai dan kebersamaan dalam pelayanan.
Persahabatan yang Menyentuh Kemanusiaan
Kehangatan antara para pemimpin agama juga kerap tergambar dalam momen penuh makna. Salah satu yang paling dikenal adalah persahabatan antara Paus Fransiskus dan K.H. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal yang kini menjabat sebagai Menteri Agama RI.
Keduanya tak sekadar berbagi salam dan senyum; mereka meneladankan bahwa dialog iman adalah jembatan menuju kedamaian dunia.
Bahkan setelah Paus wafat, doa dan penghormatan disampaikan oleh para tokoh lintas agama di Gereja Katedral Jakarta—sebuah simbol bahwa kasih dan persaudaraan tidak berhenti di batas agama.
Dari Jakarta untuk Dunia: Pesan Damai dari Nusantara
Bangsa Indonesia memiliki fondasi kuat dalam nilai kemanusiaan universal. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan dasar negara Pancasila menegaskan bahwa keberagaman bukan sumber perpecahan, melainkan kekuatan yang mempersatukan.
Dalam Pembukaan UUD 1945, termaktub tekad untuk “ikut serta dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Warisan ini nyata dalam keseharian kita: dari kerja sama antarumat beragama, gotong royong lintas suku, hingga perkawinan antarbudaya. Semuanya membuktikan bahwa toleransi di Indonesia hidup dan bernapas dalam tindakan.
Menjaga Terowongan Toleransi di Hati
Perdamaian bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Ia harus diperjuangkan, dihidupi, dan diperbarui setiap hari—di rumah, di tempat kerja, di dunia digital, dan dalam diri masing-masing.
Kita semua memiliki tanggung jawab membangun terowongan toleransi dalam hati dan tindakan, agar kemanusiaan terus bertumbuh di atas fondasi kasih, penghargaan, dan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Perdamaian dimulai ketika kita berani berjalan menuju satu sama lain, bukan menjauh.”