Loading
Pengkampanye Yayasan Pusaka, Dorthea Wabiser menjadi salah satu pembicara di side event COP30 yang berlangsung Ford Pavilion di Belém, Brasil. (Foto: Istimewa)
BELEM, ARAHKITA.COM – Suara dari timur Indonesia menggema di Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 di Belém, Brasil. Para aktivis lingkungan asal Papua membawa pesan tegas: hutan dan ruang hidup masyarakat adat terus tergerus, sementara respons negara masih jauh dari memadai.
Kehadiran mereka bukan sekadar mengikuti agenda negosiasi resmi COP30, tetapi juga membangun solidaritas lintas benua. Delegasi Papua berkunjung ke komunitas adat Ka’apor di jantung Amazon dan ikut dalam aksi besar Flotilla, sebuah gerakan kolektif yang membawa pesan global untuk menghentikan “solusi iklim palsu”.
Solidaritas Papua–Amazon: Ancaman Serupa, Perjuangan yang Sama
Pengkampanye Yayasan Pusaka, Dorthea Wabiser, menjelaskan bahwa kunjungan ke Suku Ka’apor dilakukan sebagai bentuk dukungan antarmasyarakat adat yang menghadapi tekanan serupa. Ka’apor dikenal berani menentang kebijakan destruktif pemerintah Brasil dan perusahaan-perusahaan besar, hingga melayangkan gugatan terhadap Presiden Jair Bolsonaro atas dugaan ecocide.
Namun hingga kini, tekanan terhadap wilayah adat Ka’apor terus meningkat lewat ekspansi industri tebu, praktik penebangan, dan proyek karbon berskala besar.“Ancaman terhadap hutan adat tidak hanya terjadi di Amazon. Di Papua pun kami menghadapi skema-skema serupa yang mengabaikan hak masyarakat adat,” kata Dorthea.
Flotilla: Armada Raksasa yang Mengantar Pesan dari Penjaga Hutan Dunia
Selain berdiskusi dengan komunitas Ka’apor, delegasi Papua turut bergabung dalam Flotilla, armada besar yang mengantar lebih dari 5.000 perwakilan masyarakat adat dari 60 negara menuju arena COP30.
Armada tersebut mencakup kapal-kapal ikonik seperti Yaku Mama dari Ekuador, The Answer Caravan dari Brasil yang dipimpin tokoh adat Raoni Metuktire, serta Flotilla 4 Change. Mereka menempuh perjalanan lebih dari 3.000 kilometer menyusuri sungai Amazon.
Aksi itu menjadi simbol ketahanan masyarakat adat—para penjaga hutan dunia—yang mendesak negara-negara untuk menghentikan solusi iklim palsu dan menempatkan masyarakat adat sebagai pusat strategi global.
Bagi perwakilan Papua Barat, ruang negosiasi resmi masih minim melibatkan suara masyarakat adat. “Hutan kami bukan untuk dinegosiasikan. Hutan kami bukan bank anda,” tegas Dorthea.
Papua: Kontradiksi Diplomasi Hijau dan Kenyataan di Lapangan
Direktur LBH Merauke, Teddy Wakum, menilai kondisi Tanah Papua mencerminkan paradoks besar. Indonesia aktif bicara perdagangan karbon dan pelestarian hutan di forum internasional, namun di lapangan hutan adat justru dikonversi untuk proyek strategis nasional.
Di Merauke, proyek pangan, energi, dan air kerap memicu kerusakan hutan sekaligus meningkatkan ketegangan sosial karena hadirnya aparat militer.“Ini proyek negara. Tapi bagi kami, semua jalur akan ditempuh, termasuk mekanisme internasional, agar dunia tahu rakyat adat Papua sedang menghadapi ketidakadilan,” ujarnya.
Aktivis berencana menyampaikan langsung isu itu di COP30, termasuk tentang kearifan lokal masyarakat adat Papua yang selama ratusan tahun menjaga hutan secara berkelanjutan, jauh sebelum pendekatan konservasi modern diperkenalkan.
Perubahan Tata Ruang dan Ancaman Konversi Hutan Skala Besar
Pemerintah Indonesia dalam forum resmi menegaskan bahwa mekanisme perdagangan karbon nasional serta regulasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) akan memberi manfaat bagi masyarakat penjaga hutan. Pemerintah juga mengklaim memperkuat pengakuan hutan adat melalui alokasi sekitar 1,4 juta hektare.Namun menurut organisasi masyarakat sipil, klaim tersebut belum tercermin di lapangan.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, menyebut negara masih mendorong konversi hutan skala besar demi kepentingan komersial—faktor yang justru menjadi pendorong deforestasi.
Ia mencontohkan proyek strategis di Merauke yang berpotensi mengonversi sekitar 2 juta hektare kawasan hutan. Pada 2025, Kementerian Kehutanan telah melepaskan sekitar 490 ribu hektare untuk program food estate, dan pemerintah bahkan menargetkan pembebasan lahan hingga 1 juta hektare melalui perubahan tata ruang.
“Penetapan ini dilakukan sepihak tanpa musyawarah dengan masyarakat adat yang mendiami wilayah tersebut. Ini menunjukkan cara pandang kolonial yang masih hidup dalam kebijakan negara,” kata Franky.
Suara Papua untuk Dunia
Kehadiran aktivis Papua di COP30 menjadi pengingat penting bahwa mitigasi krisis iklim tidak bisa hanya dijalankan lewat angka dan skema perdagangan karbon. Hutan bukan sekadar aset ekonomi, tetapi ruang hidup yang menyimpan identitas, sejarah, dan masa depan masyarakat adat.
Di panggung global, suara Papua membawa pesan: keadilan iklim tidak dapat dicapai tanpa keadilan bagi penjaga hutan.